Sabtu, 29 Januari 2011

UNDANG-UNDANG SISDIKNAS (SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL) NO. 20 TAHUN 2003 DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN NASIONAL

KELOMPOK 1
UNDANG-UNDANG SISDIKNAS (SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL) NO. 20 TAHUN 2003 DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN NASIONAL Oleh : Muhammad Khairunnas, Muhammad Soleh
A. Pendahuluan
Salah satu tuntutan gerakan reformasi tahun 1998, ialah diadakannya reformasi dalam bidang pendidikan. Forum Rektor yang lahir 7 Nopember 1998 di Bandung, juga mendeklarasikan perlunya reformasi budaya, melalui reformasi pendidikan. Tuntutan reformasi itu, dipenuhi oleh DPR-RI, bersama dengan pemerintah, dengan disahkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tanggal 11 Juni 2003 yang lalu. Sistem Pendidikan Nasional yang handal dan visioner sudah harus diketemukan, agar mampu menjawab globalisasi dan membawa Indonesia hidup sama hormat dan sederajat dalam panggung kehidupan internasional dengan bangsa-bangsa maju lainnya. Suatu Sistem Pendidikan Nasional yang mampu mengantarkan orang Indonesia menjadi warga dunia modern tanpa kehilangan jati dirinya.
Pada era reformasi, sistem pendidikan nasional masih diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989, yang banyak pihak menilainya bahwa UU tersebut tidak sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, yang atas dasar itulah kemudian disusun Undang-Undang yang baru tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang meskipun melalui perdebatan yang cukup rumit dan melelahkan, namun akhirnya dapat disahkan menjadi Undang-Undang.
B. Pembahasan
Menurut Undang-Undang Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
Menurut Undang-Undang Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
UU Sisdiknas Dan Reformasi Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disahkan oleh DPR pada tanggal 11 Juni 2003, dan diberlakukan pada tanggal 8 Juli 2003. Dalam Batang Tubuh Undang-Undang tersebut memuat 22 Bab, dan 77 Pasal, adalah cukup ideal dan akomodatif dalam mengatur sistem pendidikan di Indonesia. Secara berturut-turut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Dasar, Fungsi dan Tujuan Pendidikan
Sebagaimana disebutkan dalam Bab II, pasal 1 bahwa : "Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945". Secara konseptual, dasar pendidikan nasional ini mengandung nilai-nilai yang tidak diragukan lagi kehandalannya, amat ideal dan luhur, dan secara konsensus seluruh bangsa Indonesia sudah menerimanya.
Sedangkan hakekat fungsi pendidikan nasional yang ditetapkan dalam Pasal 2, yakni : "mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa". Kalimat ini sederhana, namun memiliki makna yang dalam dan luas. Di mana bangsa yang cerdas adalah bangsa yang dibangun atas tiga pilar. Pertama, memiliki kemampuan dalam menguasai berbagai aspek kehidupan, baik aspek ekonomi, sosial, politik, hukum, ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun aspek agama. Kedua, memiliki watak kepribadian yang luhur dan anggun, patriotis dan nasionalis, serta watak bekerja keras dalam memenuhi kebutuhan hidup. Ketiga, memiliki peradaban yang humanis religius, serta kewibawaan yang tinggi, sehingga bangsa-bangsa lain tidak memperlakukan dan mengintervensi bangsa Indonesia sekehendaknya.
Selanjutnya, tujuan pendidikan yang ditetapkan dalam pasal tersebut adalah : "Untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".
Konsep ini akan menghasilkan manusia yang sempurna (insan kamil), yakni terbinanya seluruh potensi yang dimiliki baik jasmani, intelektual, emosional, sosial, agama dan sebagainya. Dengan demikian, ia dapat mengemban tugas hidupnya dengan baik dan penuh tanggung jawab, baik yang berkenaan dengan kepentingan pribadi, masyarakat, bangsa dan negaranya.
2. Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan
Sebagaimana ditetapkan dalam Bab III, pasal 4 : "Pendidikan diselenggarakan dengan prinsip demokratis, berkeadilan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa; prinsip satu kesatuan yang sistemik; prinsip pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik; prinsip keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik; prinsip pengembangan budaya membaca, menulis dan berhitung; prinsip pemberdayaan semua komponen masyarakat".
Prinsip penyelenggaraan pendidikan yang seperti ini menunjukkan prinsip yang holistik (menyeluruh), terbuka dan akomodatif dari berbagai aspirasi atau tuntutan masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak bangsa. Prinsip-prinsip tersebut terletak pada penyelenggaraan pendidikan yang demokratis, berkeadilan, desentralisasi, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pendidikan yang seperti ini akan memberikan kebebasan dalam berfikir dan berkreasi positif bagi anak didik, serta terbuka bagi masyarakat.
3. Hak dan Kewajiban
Dijelaskan dalam Bab IV, pasal 5 : "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu", dan "Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan". Konsep ini lebih menekankan pada pemerataan pendidikan bagi setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Ada indikasi bahwa permasalahan menonjol yang dihadapi pendidikan nasional, sebagaimana diungkapkan mantan Mendiknas Yahya A. Muhaimin, yaitu : (1) masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan, (2) masih rendahnya mutu dan relevansi pendidikan, dan (3) masih lemahnya manajemen pendidikan".
Ditetapkannya hak dan kewajiban warga negara tersebut dalam rangka mengantisipasi, mengatasi dan menuntaskan adanya kesenjangan memperoleh pendidikan yang bermutu. Untuk itu semua warga negara (orang tua, masyarakat, dan Pemerintah/Pemerintah Daerah) dilibatkan secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan. Untuk tujuan itu UU Sisdiknas mempersyaratkan adanya badan hukum pendidikan, sebagaimana diamanatkan pasal 53 UU Sisdiknas: "(1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan, (2) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri".
4. Peserta Didik
Ditetapkan dalam Bab V, pasal 12 bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak : "mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama", dan "mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya". Substansi Bab ini menekankan arti pentingnya pendidikan agama bagi peserta didik yang sesuai dengan agama yang dianutnya, karena bertujuan untuk melindungi akidah agama dalam rangka meningkatkan keimanan dan ketakwaan sesuai dengan agama yang dianutnya. Hal ini sebagai realisasi dari Pancasila, terutama sila pertama : "Ketuhanan Yang Maha Esa", dan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31 ayat 3 : "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa ...", serta untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, sebagaimana di atas.
5. Bentuk Penyelenggaraan Pendidikan
Dalam Bab VI dijelaskan secara rinci mengenai jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Pada pasal 13 disebutkan : "Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya", dan "diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh". Dalam penjelasan dijelaskan, pasal tersebut cukup jelas.
6. Standar Nasional Pendidikan
Sebagaimana ditetapkan dalam Bab IX, pasal 35, menyebutkan : "Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala". Konsep ini jelas dan rinci sebagai bahan acuan dalam penyelenggaraan satuan pendidikan termasuk acuan pengembangan program-programnya.
7. Kurikulum
Sebagaimana ditetapkan dalam Bab X pasal 36, 37, 38 yang intinya dijelaskan : "Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik". Pengembangan kurikulum yang ditetapkan ini, dalam rangka membekali peserta didik dengan berbagai kemampuan yang sesuai dengan tuntutan zaman.
8. Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Tentunya kewajiban-kewajiban pendidik dan tenaga kependidikan seperti inilah yang dituntut dan diharapkan, sebab pendidik dan tenaga kependidikan merupakan kunci dalam peningkatan mutu pendidikan dan mereka berada di titik sentral dari setiap usaha reformasi pendidikan yang diarahkan pada perubahan-perubahan kualitatif. Setiap usaha peningkatan mutu pendidikan seperti pembaharuan kurikulum, pengembangan metode-metode mengajar, penyediaan sarana dan prasarana hanya akan berati manakala melibatkan tenaga pendidik (guru/dosen) dan tenaga kependidikan
9. Sarana dan Prasarana Pendidikan
Sebagaimana ditetapkan dalam Bab XII pasal 45 ayat 1 dijelaskan bahwa : "Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik". Pasal ini menekankan pentingnya sarana dan prasarana dalam satuan pendidikan, sebab tanpa didukung adanya sarana dan prasarana yang relevan, maka pendidikan tidak akan berjalan secara efektif.
10. Pendanaan Pendidikan
Fokus dari analisis ini lebih diarahkan pada pasal 46 ayat 1 yang menetapkan: "Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat". Dan pasal 47 ayat a dan 2, yakni : "Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan berkelanjutan, dan Pemerintah, Pemerintah Daerah, serta masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku".
Pasal ini nampak terlalu politis, artinya keberanian pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengalokasikan dana untuk sektor pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan adalah minimal 20 persen dari APBN dan APBD, ditambah lagi dalam pasal 34 ayat 2, disebutkan bahwa "Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya". Jika hal ini dapat diwujudkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, maka akan dapat membantu benar dalam suksesnya pendidikan di Indonesia, namun di sini lagi-lagi ada tambahan kata "bersama dengan masyarakat".
C. Kesimpulan
Pendidikan merupakan suatu unsur yang tidak dapat dipisahkan dari diri manusia. Mulai dari kandungan sampai beranjak dewasa kemudian tua. Manusia mengalami proses pendidikan yang didapatnya dari orang tua, masyarakat, maupun lingkungannya.
Pendidikan sebagai hak asasi setiap individu anak bangsa telah diakui dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan. Sedangkan ayat (2)-nya menyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Oleh karena itu, seluruh komponen bangsa baik orang tua, masyarakat, maupun pemerintah bertanggungjawab mencerdaskan bangsa melalui pendidikan. Hal ini adalah salah satu tujuan bangsa Indonesia yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945 alinea IV.
Pembaharuan sistem pendidikan nasional dilakukan untuk memperbaharui visi, misi, dan strategi pendidikan nasional. Pendidikan nasional mempunyai visi agar terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa. Hal itu dilakukan untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia supaya berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.



























KELOMPOK 2
PENDIDIKAN ISLAM DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL Oleh : Abdul Fuad, Lutfi Nur Fahriansyah, M. Al Amin

A. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan hal yang sudah lama ada di Indonesia, namun yagn pertama muncul adalah sekolah-sekolah umum yang berada di bawah kekuasaan belanda. Sehingga pada masa kolonial Belanda tersebut muncul inisiatif sekolah tandingan berupa sekolah islam yang berupa madrasah atau pondok pesantern. Sistem yang diterapkan belum terakomudir dengan baik, masih berupa sisitem halaqah. Kurikulum pun belum ditetapkan. Sampai sekarang masih kita kenal yagn namanya dualisme yaitu sekolah umum dan sekolah agama.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Islam ialah bimbingan yang dilakukan oleh seseorang yang dewasa kepada terdidik dalam masa pertumbuhan agar memiliki kepribadian muslim .”Ahmad Supari dan Sukarno memberikan pengertian pendidikan Agama Islam adalah pendidikan yagn berasakan ajaran dan tuntutan agama Isalm dalam usaha membina dan membentuk pribadi-pribadi muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT. Memiliki kemampuan dan kesanggupan memfungsikan potensi-potensi yang ada dalam dirinya dan alam sekitarnya. Pendidikan mengajarkan manusia berperilaku mulia, tidak ada permusuhan, saling mengahargai satu sama lain. Pendidikan menuntut manusia menjadi lebih manju dengan memfungsikan segala sesuatu yagn ada di dalam dirinya serta segala sesuatu yang ada disekitarnya, sehingga timbul kreatifitas
2. Tujuan Pendidikan Agama Islam
Tujuan adalah suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai. Segala sesuatu pasti memiliki tujuan yang akan dicapai, tanpa adanya tujuan semua yang dilakukan nihil atau hasilnya nol. Karena tidak tahu apa yang harus dilakukan dan target apa yang ingin dicapai.
Tujuan pendidikan adalah masalah sentral dalam pendidikan, sebab tanpa perumusan yang jelas tentang tujuan pendidikan, perbuatan menjadi acak-acakan, tanpa arah, bahkan ia sesat atau satu langkah.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama Islam adalah proses pembentukan kepribadian muslim, dengan membangun ketaqwaan dan meningkatkan keimanan, serta mendidik anak menjadi muslim yang beramal sholeh, berpengatahuan, terampil, kreatif yang berlandaskan pada ajaran Islam, demi mencapai keselamatan dunia dan akhirat.
3. Fungsi Pendidikan Agama Islam
Bila dilihat secara operasional, fungsi pendidikan sendiri dapat dilihat dari bentuk yaitu:
a. Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat dan nasional.
b. Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan. Pada garis besarnya upaya ini dilakukan melalui potensi ilmu pengetahuan dan skill yang dimiliki, serta melatih tenaga-tenaga manusia (peserta didik) yang produktif dalam menemukan pertimbangan, perubahan sosial dan ekonomi yang demikian dinamis.

4. Duduknya Pendidikan Islam Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional
Untuk meletakkan duduknya pendidikan Islam dalam siste pendidikan nasional perlu diklasifikasikan kepada tiga hal.
a. Pendidikan Islam Sebagai Lembaga
1) Lembaga Pendidikan Formal
a) Pendidikan Dasar (Pasal 17) menyebutkan:
Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yagn sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat.
b) Pendidikan Menengah (Pasal 18)
Pendidikan mengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat.
c) Pendidikan Tinggi (Pasal 20)
Pendidikan tinggi berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut tau universitas.
2) Lembaga Pendidikan Non Formal (Pasal 26)
Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat dan majelis taklim serta satuan pendidikan sejenis.
3) Lembaga Pendidikan Informal (Pasal 27)
Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan keluarga dan lingkungan berbentuk kegitan belajar secara mandiri.
4) Pendidikan Usia Dini (Pasal 28)
Pendidikan usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), Raudathul Athfal (RA) atau bentuk lain yang derajat.
5) Pendidikan Keagamaan (Pasal 30)
a) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan atau sekelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
b) Pendidikan keagamaan berfungsi mepersipakan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan atau menjadi ahli agama.
c) Pendidikan keagamaan diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal dan informal.
d) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaya samena, dan bentuk lain yang sejenis.
6) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah
b. Pendidikan islam Sebagai Mata pelajaan
Kurikulum disusun dengan jenjang pendidikan dalam kerangaka negara kesatuan. Republik Indonesia. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
1) Pendidikan agama
2) Pendidikan Kewarganegaraan
3) Bahasa
4) Matematika
5) Ilmu Pengetahuan Alam
6) Ilmu Pengetahua Sosial
7) Seni dan Budaya
8) Pendidikan jasmani dan olahraga
9) Keterampilan/kejuruan
10) Muatan Lokal (Pasal 37 ayat (10)

a. Nilai-Nilai Islami Dalam UU No. 20 Tahun 2003
Inti dari hakikat nilai-nilai adalah nilai yagn membawa kemaslahatan dan kesejahteraan bagi seluruh makhluk (sesuai konsep rahmatan lil’alamin), demokratis, egalitarian dan humanis. Diantara nilai-nilai tersebut adalah:
1) Pendidikan nasional adalah pendidikan pendidikan yagn berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
2) Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
3) Pendidikan nasional bersifat demoratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif.
4) Memberikan perhatian kepada peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
5) Menekankan pentingnya pendidikan keluarga merupakan salah satu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan seumur hidup
6) Pendidikan merupakan kewajiban bersama antara orang tua, masyarakat dan pemerintah.
C. KESIMPULAN
Dari beberapa urain maka dapat kita ambil kesimpulan, bahwa pendidikan Islam yang terdapat pada sisitem pendidikan nasional adalah berupa :
a. Pendidikan Islam Sebagai Lembaga
b. Pendidikan islam Sebagai Mata pelajaan
c. Nilai-Nilai Islami Dalam UU No. 20 Tahun 2003












KELOMPOK 3
PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT Oleh : Adi Gunawan, Hendri Aspian, Imam Ghozali
A. PENDAHULUAN Pendidikan Berbasis Masyarakat merupakan pilot project yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan belajar anak melalui suara, pilihan dan tindakan kolektif masyarakat. Proyek percontohan ini akan dilaksanakan melalui mekanisme Program Pengembangan Kecamatan (PPK), yang merupakan program pemerintah yang ditujukan untuk mengurangi dampak kemiskinan pada masyarakat pedesaan dan untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan setempat. PPK difokuskan pada kecamatan yang dinilai termiskin di Indonesia, dan membiayai proyek pembangunan pada tingkat desa melalui sebuah sistem pilihan terbuka, yang memungkinkan berbagai kelompok masyarakat untuk mengusulkan kegiatan pendidikan. Sejauh ini, PPK belum memiliki sistem yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan maupun perspektif masyarakat terhadap gagasan inovatif berkaitan dengan pendidikan. Otonomi Daerah merupakan kewenangan Daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingaan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat (Thoha, 1998). Dengan otonomi daerah, maka wewenang pusat dilimpahkan kepada daerah untuk menangani urusannya masing-masing. Di Indonesia otonomi daerah tidak dilaksanakan secara frontal untuk segala urusan, tetapi sebagian urusan daerah tidak lagi diintervensi oleh pemerintah pusat. Melihat kondisi ini, maka diharapkan dapat mendorong kemajuan daerah berdasarkan potensi dan sumber daya yang dimiliki. Penataan otonomi daerah yang seluas-luasnya akan mempengaruhi penataan institusi dan berdampak pada manajemen berbagai sumber daya yang ada di daerah. Apabila otonomi daerah dikonsentrasikan di wilayah kota atau kabupaten, maka propinsi tidak lagi sebagai pemerintah otonom, tetapi bersifat koordinatif. Wewenang penyelenggaraan segala urusan berada pada tingkat kota atau kabupaten. Hal ini akan membawa dampak pada penataan sistem pendidikan, termasuk organisasi penyelenggara, kurikulum, penataan SDM, pendanaan, sistem manajemen, sarana prasarana, dan pengembangan pendidikan daerah.
B. PEMBAHASAN
1. Tujuan Pendidikan Berbasis Masyarakat Pendidikan Berbasis Masyarakat (PBM) bertujuan untuk membantu pemerintah dalam memobilisasi sumber daya lokal dan meningkatkan peranan masyarakat, meningkatkan rasa kepemilikan dan dukungan masyarakat terhadap sekolah, dan mendukung peranan masyarakat untuk mengembangkan inovasi kelembagaan, serta membantu mengatasi putus sekolah terutama dari SD.
2. Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat (PBM) Konsep PBM adalah: dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat (Sihombing, U., 2001). Dari konsep di atas dapat dinyatakan bahwa PBM adalah pendidikan yang dikelola oleh masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat dan menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar serta bertujuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Konsep dan praktek PBM tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil, mandiri dan memiliki daya saing dengan melakukan program belajar yang sesuai kebutuhan masyarakat. Untuk mewujudkan output pendidikan yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dibutuhkan pendidikan yang bermutu. Apabila kita lihat mutu pendidikan di negara kita saat ini masih menghadapi beberapa problematika. Beberapa problem mengenai mutu pendidikan kita seperti yang diungkapkan DR. Arief Rahman dalam Mukhlishah, 2002 adalah: a) pembiasaaan atau penyimpangan arah pendidikan dari tujuan pokoknya , b) malproses dan penyempitan simplikatif lingkup proses pendidikan menjadi sebatas pengajaran, c) pergeseran fokus pengukuran hasil pembelajaran yang lebih diarahkan pada aspek-aspek intelektual atau derajat kecerdasan nalar. Sedangkan menurut Surya, M., 2002 salah satu problematika pendidikan di Indonesia adalah keterbatasan anggaran dan sarana pendidikan, sehingga kinerja pendidikan tidak berjalan dengan optimal. Persoalan tersebut menjadi lebih komplek jika kita kaitkan dengan penumpukan lulusan karena tidak terserap oleh masyarakat atau dunia kerja karena rendahnya kompetensi mereka. Mutu dan hasil pendidikan tidak memenuhui harapan dan kebutuhan masyarakat atau mempunyai daya saing yang rendah. Indikator yang menunjukkkan rendahnya mutu hasil pendidikan kita adalah kepekaan sosial alumni sistem pendidikan terhadap persoalan masyarakat yang seharusnya menjadi konsen utama mereka, seperti: a) alumni kedokteran tidak menunjukkan kepekaan sosial terhadap maraknya wabah demam berdarah, sehingga lonjakan wabah tersebut di beberapa daerah harus dibarengi dengan ironi kekurangan tenaga medik dan paramedik, kemudian terjadilah kisah tragis Indah di Indramayu; b) Kesulitan untuk mencari guru mengaji di sebagian besar masjid-masjid kota pontianak dan Kab./Kota lainnya di Propinsi kalimantan Barat merupakan hal yang sulit kita pahami, mengingat STAIN Pontianak hingga saat ini telah meluluskan banyak alumni; c) sangat ironis terjadi bagi masyarakat Kalimantan Barat jika harus kekurangan tenaga dan ahli pertanian sehingga banyak areal pertanian terbengkalai atau salah urus, mengingat Untan dan IPB meluluskan ratusan sarjana pertanian setiap tahunnya. Sementara itu kita juga tengah menghadapi era globalisasi yang ditandai dengan disepakatinya kawasan perdagangan bebas. Sejak 1 Januari 2003 secara Internasional dimulai AFTA (Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour Area). Akibatnya terjadi perubahan pada berbagai bidang kehidupan, baik politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, demografi, Sumber Daya Alam, dan geografi yang akan berpengaruh pada skala global, regional dan nasional. Secara global dapat dilihat dengan adanya terorisme, runtuhnya tembok Berlin, narkoba. Secara regional dapat dilihat dengan maraknya narkoba, terorisme, TKI, sipida ligitan. Secara Nasional dapat kita lihat dengan banyaknya pengangguran, kemiskinan, narkoba, pariwisata, dan demokrasi. Dengan demikian pendidikan harus secara akif berperan mengatasi dampak negatif dari era globalisasi dan mempersiapkan Sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang mampu bersaing dengan SDM dari negara lain. Terobosan yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mencanangkan Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi / KBK). Dengan kurikulum ini materi pelajaran ditentukan oleh sekolah berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pusat hanya menetapkan materi pokok (esensial). Target guru tidak untuk menyampaikan semua materi pelajaran tetapi memberikan pengalaman belajar untuk mencapai kompetensi dan berfokus pada aspek kognitif, psikomotor dan afektif (Sudjatmiko dan Nurlaili, L., 2004). Oleh karena itu dengan melaksanakan KBK secara optimal diharapkan output pendidikan dapat sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat sebagai akuntabilitas pendidikan kepada masyarakat sesuai dengan konsep PBM. Sejalan dengan dicanangkannya KBK, pemerintah juga melakukan pembaharuan manajemen sekolah dengan mengeluarkan kebijakan agar sekolah menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS adalah model manajemen yang memberikan keleluasaan / kewenangan kepada sekolah untuk mengelola sekolahnya sendiri dengan meningkatkan keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah dengan tetap memperhatikan standar pendidikan nasional (Irawan, A., 2004). MBS merupakan salah satu pendidikan berbasis masyarakat yang dilaksanakan dalam pendidikan formal. Pendidikan kita selama ini memandang sekolah sebagai tempat untuk menyerahkan anak didik sepenuhnya. Sekolah dianggap sebagai tempat segala ilmu pengetahuan dan diajarkan kepada anak didik. Cara pandang ini sangat keliru mengingat sistem pendidikan juga harus dikembangkan di keluarga. Sekolah hanyalah sebagai instrumen untuk memperluas cakupan dan memperdalam intensitas penanaman cita-cita sosial budaya yang tidak mungkin lagi dikembangkan melalui mekanisme keluarga (Mukhlishah,2002). Menurut Darwin rahardjo dalam Surya, M., 2002 masyarakat modern mempunyai tiga sektor yang saling berinteraksi yaitu sektor pemerintah, dunia usaha dan sektor sukarela (LSM). Ketiga sektor masyarakat tersebut harus mempunyai posisi tawar menawar dan kemandirian sehingga menghasilkan kerjasama yang sinergik dan simbiotik dalam mencapai tujuan bersama. Hal tersebut dapat dijadikan kerangka berfikir dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam satu gugus sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan.
3. Kendala Mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Masyarakat Kendala dalam mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Masyarakat menurut Sagala, S., 2004 adalah: a. Sistem perencanaan, pengangguran dan pertanggungjawaban keuangan yang dianut pemerintah masih dari atas ke bawah (top down). b Kurangnya kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan atau kekuatan energi masyarakat. c Sikap Birokrat yang belum mampu membiasakan diri bertindak sebagai pelayan. d Karakteristik kebutuhan belajar masyarakat yang sangat beragam, sedangkan sistem perencanaan yang dianut masih turun dari atas dan bersifat standar. e Sikap masyarakat dan juga pola pikir masyarakat dalam memenuhi kebutuhan masih tertuju pada hal-halyang bersifat kebutuhan badani / kebendaan. f Budaya menunggu pada sebagian besar masyarakat kita. g Tokoh panutan, yaitu tokoh-tokoh masyarakat yang seyogyanya berperan sebagai panutan sering berperilaku seperti birokrat. h Lembaga sosial masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendidikan masih kurang. i Keterbatasan anggaran, sarana prasarana belajar, dan tenaga kependidikan. j Egoisme sektoral, yaitu masih ada keraguan di antara prosedur yang berbeda tentang kedudukan masyarakat dalam institusi pendidikan berkaitan dengan pendidikan berbasis masyarakat yang masih menonjolkan karakteristiknya masing-masing. Bertolak dari permasalahan-permasalahan ini, institusi sekolah bersama masyarakat perlu menyusun suatu model kebijakan sampai batas mana masyarakat dapat berpartisipasi dalam manajemen pendidikan dan bagaimana masyarakat itu dapat berpartisipasi memenuhi kebutuhan sekolah. Salah satu solusinya, aspirasi masyarakat dan keikutsertaan masyarakat disalurkan melalui suatu forum yang disebut dewan sekolah atau komite sekolah yang fungsi tugasnya dituangkan dalam peraturan pemerintah maupun peraturan daerah. Komite sekolah merupakan pengembangan fungsi dari BP3 yang tidak hanya berfungsi untuk memberikan dukungan pembiayaan tetapi juga berfungsi mengoreksi dan memberikan masukan atau ide bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Komite sekolah sebagai forum keikut sertaan masyarakat ditingkat sekolah sedangkan dewan pendidikan ditingkat Kabupaten/Kota. Selain itu untuk mengatasi kendala penerapan berbasis masyarakat perlu dilakukan perbahan sikap yang melihat pendidikan secara utuh, perubahan pola perencanaan dan penggunaan anggaran dari pusat dengan pola DIP ke pola hibah (block grant), perubahan sikap birokrat dalam berperilaku untuk memberdayakan masyarakat, pemberian kepercayaan kepada masyarakat untuk mengelola sendiri pendidikan yang mereka perlukan dan pemerintah cukup membuat standar mutu, LSM serta organisasi kemasyarakatan serta swasta yang mau bergerak dibidang pendidikan perlu lebih diberdayakan.
4. Peran Pemerintah Dalam Pendidikan Berbasis Masyarakat -(PBM III) a. Bagaimana peran pemerintah dalam menggalakkan Pendidikan Berbasis Masyarakat? Beberapa peran yang diharapkan dapat dimainkan oleh aparat pemerintah dalam menata dan memantapkan pelaksanaan pendidikan berbasis masyarakat menurut Sihombing, U. 2001 adalah: peran sebagai pelayan masyarakat, peran sebagai fasilitator, peran sebagai pendamping, peran sebagai mitra dan peran sebagai penyandang dana. Sebagai Pelayan Masyarakat, dalam mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat seharusnya pemerintah memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Melayani masyarakat, merupakan pilar utama dalam memberdayakan dan membantu masyarakat dalam menemukan kekuatan dirinya untuk bisa berkembang secara optimal. Pemerintah dengan semua aparat dan jajarannya perlu menampilkan diri sebagai pelayan yang cepat tanggap, sepat memberikan perhatian, tidak berbelit-belit, dan bukan minta dilayani. Sebagai Fasilitator, pemerintah seharusnya merupakan fasilitator yang ramah, menyatu dengan masyarakat, bersahabat, menghargai masyarakat, mampu menangkap aspirasi masyarakat, mampu membuka jalan, mampu membantu menemukan peluang, mampu memberikan dukungan, mampu meringankan beban pekerjaan masyarakat, mampu menghidupkan komunikasi dan partisipasi masyarakat tanpa masyarakat merasa terbebani. Sebagai Pendamping, pemerintah harus melepaskan perannya dari penentu segalanya dalam pengembangan program belajar menjadi pendamping masyarakat yang setiap saat harus melayani dan memfasilitasi berbagai kebutuhan dan aktivitas masyarakat. Kemampuan petugas sebagai teman, sahabat, mitra setia dalam membahas, mendiskusikan, membantu merencanakan dan menyelenggarakan kegiatan yang dibutuhkan masyarakat perlu terus dikembangkan. Sebagai pendamping, mereka dilatih untuk dapat memberikan konstribusi pada masyarakat dalam memerankan diri sebagai pendamping. Acuan kerja yang dipegangnya adalah tutwuri handayani (mengikuti dari belakang, tetapi memberikan peringatan bila akan terjadi penyimpangan). Pada saat yang tepat mereka mampu menampilkan ing madya mangun karsa ( bila berada di antara mereka, petugas memberikan semangat), dan sebagai pendamping, petugas harus dapat dijadikan panutan masyarakat ( Ing ngarsa sung tulodo). Sebagai Mitra, apabila kita berangkat sari konsep pemberdayaan yang menempatkan masyarakat sebagai subjek, maka masyarakat harus dianggap sebagai mitra. Hubungan dalam pengambilan keputusan bersifat horizontal, sejajar, setara dalam satu jalur yang sama. Tidak ada sifat ingin menang sendiri, ingin tampil sendiri, ingin tenar/populer sendiri, atau ingin diakui sendiri. Sebagai mitra, pemerintah harus dapat saling memberi, saling mengisi, saling mendukung dan tidak berseberangan dengan masyarakat, tidak terlalu banyak campur tangan yang akan menyusahkan, membuat masyarakat pasif dan akhirnya mematikan kreativitas masyarakat. Sebagai Penyandang Dana, pemerintah harus memahami bahwa masyarakat yang dilayani pada umumnya adalah masyarakat yang kurang mampu, baik dalam ilmu maupun ekonomi. Belajar untuk belajar bukan menjadi tujuan, tetapi belajar untuk hidup dalam arti bermatapencaharian yang layak. Untuk itu diperlukan modal sebagai modal dasar untuk menerapkan apa yang diyakininya dapat dijadikan sebagai sumber kehidupan dari apa yang sudah dipelajarinya. Pemerintah berperan sebagai penyedia dana yang dapat mendukung keseluruhan kegiatan pendidikan yang diperlukan oleh masyarakat yang disalurkan berdasarkan usulan dari lembaga pengelola PKBM.
b. Bagaimana peran Komite sekolah dalam pendidikan berbasis masyarakat ? Selama ini Komite Sekolah memang telah dibentuk oleh Pemerintah, tetapi perannya terbatas hanya untuk mengawasi dana Jaring Pengaman Sosial (JPS). Komite Sekolah yang baru ini tentu tidak terbatas hanya untuk mengawasi dana JPS saja, melainkan juga berperan bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah, berfungsi untuk terus menjaga transparansi dan akuntabilitas sekolah, serta menyalurkan partisipasi masyarakat pada sekolah. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut tentu saja Komite Sekolah mesti melakukan berbagai upaya dalam mendayagunakan kemampuan yang ada pada orang tua, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, termasuk LSM-LSM yang memiliki concern di bidang pendidikan. Agar independensi komite ini tetap terjaga, maka tampaknya keanggotaan tidak lagi memasukkan aparat sekolah dan pemerintahan. Kalau Komite Sekolah JPS keanggotaan ya terdiri dari 50% anggota masyarakat dan 50% lagi birokrat, maka keanggotaan Komite Sekolah yang baru ini adalah orang tua siswa, tokoh masyarakat, pakar dan pengamat pendidikan, LSM-LSM, dan mungkin juga perwakilan-perwakilan dari organisasi masyarakat dan pemuda yang ada. Tentu saja Kepala Sekolah harus membantu terbentuknya komite ini. Selanjutnya pembentukan komite dilaporkan kepada instansi/satuan kerja setempat yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan pendidikan. Namun demikian komite ini bersifat independen yang berkedudukan sebagai mitra sekolah dan berfungsi sebagai lembaga kontrol bagi sekolah. Komite Sekolah juga dapat memberikan masukan penilaian untuk pengembangan pelaksanaan pendidikan dan pelaksanaan manajemen sekolah. Komite sekolah nisa juga memberikan masukan bagi pembahasan atas usulan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).
C. KESIMPULAN 1. PBM sudah ada dan tumbuh di Indonesia dalam berbagai bentuk. 2. Peran pemerintah harus bergeser sebagai pelayan, pendamping, pendorong, dan penggugah dalam mengembangkan PBM. 3. PBM harus bertumpu pada masyarakat. 4. PBM harus didukung oleh kemitrasejajaran 5. Penganekaragaman program pembelajaran perlu dikembangkan. 6. Pola pengganggaran yang salah dapat mematikan kreativitas masyarakat. 7. PKBM ditumbuhkan, dikelola, dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat.


KELOMPOK 4
UNDANG-UNDANG GURU DAN DOSEN TAHUN 2005 Oleh : Abdussalam, Efriansyah, Fatimah,
A. PENDAHULUAN
Sebagai pengajar atau pendidik, guru merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan setiap upaya pendidikan. Itulah sebabnya setiap adanya inovasi pendidikan, khususnya dalam kurikulum dan peningkatan sumber daya manusia yang dihasilkan dari upaya pendidikan selalu bermuara pada faktor guru. Hal ini menunjukkan bahwa betapa eksisnya peran guru dalam dunia pendidikan.
Profesi guru pada saat ini masih banyak dibicarakan orang, atau masih saja dipertanyakan orang, baik dikalangan pakar pendidikan maupun duluar pakar pendidikan. Bahkan selama dasawarsa terakhir ini hampir setiap hari, media massa khususnya media cetak baik harian maupun mingguan memuat berita tentang guru. Ironisnya berita-berita tersebut banyak yang cenderung melecehkan posisi guru, baik yang sifatnya menyangkut kepentingan umum sampai kepada hal-hal yang sifatnya sangat pribadi, sedangkan dari pihak guru sendiri nyaris tak mampu membela diri.
Rendahnya pengakuan masyarakat terhadap profesi guru disebabkan oleh beberapa faktor berikut :
1. Adanya pandangan sebagian masyarakat, bahwa siapapun dapat menjadi guru asalkan ia berpengetahuan.
2. Kekurangan guru didaerah terpencil, memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak mempunyai keahlian untuk menjadi guru.
3. Banyak guru yang belum menghargai profesinya, apalagi berusaha mengembangkan profesinya itu. Perasaan rendah diri karena menjadi guru, penyalahgunaan profesi untuk kepuasan dan kepentingan pribadinya, sehingga wibawa guru semakun merosot.
B. PENGERTIAN
1. Guru
Dibawah ini adalah beberapa definisi mengenai guru/ dosen yaitu :
 Guru merupakan seorang pekerja yang tugasnya adalah menolong anak yang bodoh menjadi pandai, anak yang nakal/ malas menjadi anak yang pandai.
 Guru adalah seorang pengajar yang tugasnya mengajar ilmu agama kepada seorang anak atau lebih.
 Guru adalah seorang panutan atau teladan bagi seorang anak bahkan didalam masyarakat. Karena guru adalah orang yang memberi ilmu yang bermanfaat bagi orang lain.
 Guru adalah seseorang yang mengajar supaya peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seseorang peserta didik.
 Guru yang profesional harus selalu menampilkan sosok safe practisioner atau praktisi yang aman bagi peserta didik yang meimiliki pendidikan yang kuat, baik dasar akademik, pengetahuan, maupun keterampilan profesionalnya.
Adapun definisi guru/ dosen didalam Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
2. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
BAB II
KEDUDUKAN, FUNGSI, DAN TUJUAN
Pasal 2
1. Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Pasal 3
1. Dosen mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan tinggi yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Pengakuan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
BAB III
PRINSIP PROFESIONALITAS
Pasal 7
1. Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut:
a. memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;
b. memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;
c. memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;
d. memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas;
e. memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;

BAB IV
GURU
Bagian Kesatu
Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi
Pasal 8
Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
BAB V
DOSEN
Bagian Kesatu
Kualifikasi, Kompetensi, Sertifikasi, dan Jabatan Akademik
Pasal 45
Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
BAB VI
SANKSI
Pasal 77
1. Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. teguran;
b. peringatan tertulis;
c. penundaan pemberian hak guru;
d. penurunan pangkat;
e. pemberhentian dengan hormat; atau
f. pemberhentian tidak dengan hormat.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 80
1. Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini:
a. Guru yang belum memiliki sertifikat pendidik memperoleh tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) dan memperoleh maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) tahun, atau guru yang bersangkutan telah memenuhi kewajiban memiliki sertifikat pendidik.
b. Dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik memperoleh tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) dan memperoleh maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) tahun, atau dosen yang bersangkutan telah memenuhi kewajiban memiliki sertifikat pendidik.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 82
1. Pemerintah mulai melaksanakan program sertifikasi pendidik paling lama dalam waktu 12 (dua belas) bulan terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini.
2. Guru yang belum memiliki kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang ini wajib memenuhi kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
Berdasarkan uraian di atas, pengakuan kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional mempunyai misi untuk melaksanakan tujuan Undang-Undang ini sebagai berikut:
1. mengangkat martabat guru dan dosen;
2. menjamin hak dan kewajiban guru dan dosen;
3. meningkatkan kompetensi guru dan dosen;
4. memajukan profesi serta karier guru dan dosen;
5. meningkatkan mutu pembelajaran;
6. meningkatkan mutu pendidikan nasional;
7. mengurangi kesenjangan ketersediaan guru dan dosen antardaerah dari segi jumlah, mutu, kualifikasi akademik, dan kompetensi;
8. mengurangi kesenjangan mutu pendidikan antardaerah; dan
9. meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu.
Berdasarkan visi dan misi tersebut, kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat guru serta perannya sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, sedangkan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dosen serta mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
C. KESIMPULAN
Dari uraian diatas pemakalah mengambil kesimpulan bahwa guru dan dosen merupakan seorang prodfesional yang mempunyai citra yang dimasyarakat apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat behwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat sekelilingnya. Selain itu guru dan dosen adalah salah satu tenaga profesional yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan kemajuan senuah negara. Sehingga sebagai seorang mahasiswa kita harus dapat menghilangkan pemikiran-pemikiran yang salah dimasyarakat yang menyatakan bahwa guru adalah sebuah profesi yang tidak menjamin kehidupan yang sejahtera tidak seperti seorang bisnismen, pedagang, dll.



















KELOMPOK 5
SYARAT DAN KRITERIA PENDIDIKAN BERMUTU Oleh : Anggi Sadewa, Safaruddin, Aswir, Arbain
A. PENDAHULUAN
Dengan Perkembangan zaman di dunia pendidikan yang terus berubah dengan signifikan sehingga banyak merubah pola piker pendidikan, dari pola piker yang awam dan kaku menjadi lebih modern. Hal tersebut sangat berpengaruh dalam kemajuan pendidikan di Indonesia. Menyikapi hal tersebut pakar-pakar pendidikan mengkritisi dengan cara mengungkapkan definisi, konsep dan teori pendidikan yang sebenarnya untuk mencapai tujuan pendidikan yang sesungguhnya.
Kamus bahasa Indonesia, 1991:232, Pendidikan berasal dari kata “didik”, lalu kata ini mendapat awalan kata “me” sehingga menjadi “mendidik” artinya memelihara dan member latihan. Dalam memelihara dan member latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Menurut bahasa Yunani : pendidikan berasal dari kata "Pedagogi" yaitu kata "paid" artinya "anak" sedangkan "agogos" yang artinya membimbing "sehingga " pedagogi" dapat di artikan sebagai "ilmu dan seni mengajar anak".
Menurut UU No.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dari pernyataan diatas dapat di tarik kesimpulan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya supaya memiliki kekuatan spiritual keagamaan, emosional, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
B. PEMBAHASAN
1. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan secara umum dapat dilihat pada:
a. UU No2 Tahun 1985 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang seutuhnya yaitu yang beriman dan dan bertagwa kepada tuhan yang maha esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan kerampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan berbangsa.
b. Tujuan Pendidikan nasional menurut TAP MPR NO II/MPR/1993 yaitu Meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja profesional serta sehat jasmani dan rohani.
Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan jiwa patriotik dan memepertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawaan sosial, serta kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, serta berorientasi masa depan.
c. TAP MPR No 4/MPR/1975, tujuan pendidikan adalah membangun di bidang pendidikan didasarkan atas falsafah negara pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangun yang berpancasila dan untuk membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan kreatifitas dan tanggung jawab dapat menyuburkan sikap demokratis dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945, Bab II (Pasal 2, 3, dan 4)
2. Syarat Dan Kriteria Pendidikan Bermutu
Pendidikan yang bermutu memiliki kautan kedepan (Forward Lingkage) Dan kuatan belakang (Backward Lingkage). Fordward lingkage berupa bahwa pendidikan yang bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang maju, modern, dan sejahtera. Sejarah perkembangan dan pembangunan bangsa-bangsa mengajarkan pada kita bahwa bangsa yang maju, modern, makmur, dan sejahtera adalah bangsa-bangsa yang memiliki system dan praktik pendidikan yang bermutu, backward berupa bahwa pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada keberadaan guru yang bermutu dan professional, yakni guru yang mampu mengembangkan mutu pendidikan.
Dalam bahasan ini proses pendidikan yang dimaksud adalah proses pendidikan yang berkualitas ditentukan oleh berbagai factor yang saling terkait. Kualitas pendidikan bukan terletak pada besarnya atau kecilnya sekolah, negeri atau swasta, kaya atau miskin, permanen atau tidak, dikota atau didesa, gratis atau bayar. Faktor –faktor yang menentukan kualitas proses suatu sekolah adalah terletak pada unsur-unsur dinamis yang ada di dalam sekolah itu dan lingkungannya sebagai suatu kesatuan system. Salah satu unsure yang paling penting adalah GURU. guru adalah sebagai pelaku terdepan dalam pelaksanaan pendidikan di tingkat institusional dan instruksional. Dalam kenyataan, guru belum memperoleh haknya untuk dapat mengajar secara professional dan efektif, hal itu tercermin dari kondisi saat ini yang mencakup jumlah yang kurang sehingga harus bekerja melebihi lingkup tugasnya, mutu yang belum sesuai dengan tuntutan, distribusi yang kurang merata, kesejahteraan yang amat tidak menunjang, dan manajemen yang tidak kondusif. Semua itu merupakan cerminan adanya pelanggaran hak azasi guru. Hak azasi guru proteksi dari pemerintah dan masyarakat melalui perundang-undangan yang mengatur pendidikan antara lain undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sisdiknas, dan undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen harus segera diimplementasikan pada tatanan operasional dan menejerial mulai di tingkat nasional, regional, institusional, sampai tingkat, instruksional. Peran serta guru dalam kaitan dengan mutu pendidikan, sekurang-kurangnya dapat dilihat dari empat dimensi yaitu guru sebagai pribadi, guru sebagai unsure keluarga, guru sebagai unsur pendidikan, dan guru sebagai unsure masyarakat.
3. Profesionalisme Guru
Sementara itu, para guru diharapkan memiliki jiwa profesionalisme, yaitu sikap mental yang senantiasa mendorong dirinya untuk mewujudkan dirinya sebagai petugas professional. Pada dasarnya profesionalisme itu, merupakan motivasi intrinsic pada diri guru sebagai pendorong untuk mengembangkan dirinya ke arah perwujudan profesional. Kualitas profesionalisme didukung oleh lima kompetensi sebagai berikut :
1. Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal.
Berdasarkan kriteria ini, jelas bahwa guru yang memiliki profesionalisme tinggi akan selalu berusaha mewujudkan dirinya sesuai dengan standar yang ideal. Ia akan mengidentifikasi dirinya kepada figur yang dipandang memiliki standar ideal. Yang dimaksud dengan “standar ideal” ialah suatu perangkat perilaku yang dipandang paling sempurna dan dijadikan sebagai rujukan.
2. Meningkatkan dan memelihara citra profesi
Profesionalisme yang tinggi ditunjukkan oleh besarnya keinginan untuk selalu meningkatkan dan memelihara citra profesi melalui perwujudan perlaku profesional. Citra profesi adalah suatu gambaran terhadap profesi guru berdasarkan penilaian terhadap kinerjanya. Perwujudannya dilakukan melalui berbagai cara misalnya penampilan, cara bicara, penggunaan bahasa, postur, sikap hidup sehari-hari, hubungan antar pribadi, dsb.
3. Keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan professional yang dapat meningkatkan dan meperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampiannya.
Berdasarkan kriteria ini para guru diharapkan selalu berusaha mencari dan memanfaatkan kesempatan yang dapat mengembangkan profesinya. Berbagi kesempatan yang dapat dimanfaatkan antara lain:
a mengikuti kegiatan ilmiah misalnya lokakarya, seminar, symposium, dsb.
b mengikuti penataran atau pendidikan lanjutan,
c melakukan penelitian dan pengabdian dana masyarakat,
d menelaah kepustakaan, membuat karya ilmiah,
e memasuki organisasi profesi (misalnya PGRI).
4. Mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi
Dalam UU Guru pasal 5 ayat (1) dikatakan bahwa profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip professional sebagai berikut :
a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealism
b. Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya
c. Memiliki kompetensis yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya
d. Mematuhi kode etik profesi
e. Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas
f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya
g. Memiliki kesempatan untuk mengembnagkan profesinya secara berkelanjutan
h. Memperoleh perlindungan hokum dalam melaksanakan tugas profesionalnya
C. PENUTUP
Pendidikan yang bermutu adalah pendidikam yang di kelolah oleh orang-orang yang punya integritas dan profesionalisme yang baik, dalam hal konsep, kapabilitas, motivasi dan juga dedikasi yang tinggi terhadap pendidikan itu sendiri.
Jelas ketika berbicara masalah syarat menuju pendidikan bermutu, ini semuah tidak bisa terlepas dari peran seorang pendidik (GURU) dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu, karena suatu Negara tidak akan disebut mempunyai pendidikan yang bermutu, sedangkan di sisi lain integritas tenaga pengajarnya (Guru) tidak memenihi syarat sebagai Gru profesional.
Maka untuk itu apabila suatu Negara, atau dalam skala kecil Kalimantan timur, tidak akan bisa mewujudkan pendidikan yang bermutu, kalau kemudian pemerintahannya belum memberikan perhatian yang besar terhadap guru dalam hal potensinya atau finansialnya, karena Guru yang professional adalah syarat Fundamental dalam menuju Pendidikan yang bermutu.
KELOMPOK 6
PARADIGMA SEKOALAH UNGGULAN
Oleh : Suratno, Ramli As

A. PENDAHULUAN
Dalam perjalanan manusia dari lahir hingga mencapai masa pendidikan formal, mengalami keberagaman kemampuan anak. Hal itu disebabkan berbagai hal. Menurut William Stern seorang pelopor aliran konvergensi menyatakan bahwa kemampuan manusia dipengaruhi bawaan sejak lahir dan pengaruh lingkungan yang membentuknya. Dengan keberagaman kemampuan tersebut, maka dalam pendidikan formal terbagi menjadi beberapa tingkatan. Sekolah Dasar untuk usia 6 tahun lama sekolah selama 6 tahun. Sekolah Menengah Pertama untuk usia 12 tahun dengan lama sekolah 3 tahun. Sekolah Menegah Pertama untuk usia 16 tahun dengan lama sekolah 3 tahun. Dari segi kemampuan belajar siswa dan sebagai salah satu upaya pengembangan mutu pendidikan, maka sekolah formal mengalami pembagian, yaitu sekolah umum dan sekolah favorit atau unggulan. Sekolah unggulan dengan memiliki berbagai kelebihan dalam menunjang proses belajar mengajar agar tercapai tujuan secara maksimal. Sekolah tersebut diperuntukkan bagi anak didik yang mempunyai kemampuan lebih dianding yang lainnya.
Sejak dua dekade terakhir ini, sekolah unggulan dari jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Umum (SMU) mulai marak dan menjamur di mana-mana, terutama di kota-kota besar. Jika dilihat dari kemunculannya, fenomena ini merupakan respons positif terhadap merosotnya kualitas/mutu pendidikan yang selama ini dianggap kurang menggembirakan bagi masyarakat.
Salah satu alternatif untuk mengatasi problema di atas, maka sebagian konseptor dan praktisi pendidikan berpikir bahwa untuk memenuhi standar kualitas yang baik, harus ada terobosan baru yakni dengan cara mendirikan sekolah unggulan.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Sekolah Unggulan
Sekolah adalah bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran. Menurut tingkatannya, ada sekolah dasar, sekolah lanjutan, sekolah tinggi. Sedangkan menurut jurusannya, ada sekolah dagang, sekolah guru, sekolah teknik, sekolah pertanian, dsb. Unggulan adalah lebih tinggi (pandai, baik, cakap, kuat, awet, dsb) dengan yang lainnya, utama (terbaik, terutama), mengungguli atau melebihi yg lain, lebih baik (cakap, pandai, kuat, dsb).
Sekolah unggulan adalah “terjemah bebas” dari effective school. Dikursus ilmu pendidikan, esensi sekolah unggulan merujuk kepada term effective, efficience, develop, accelerate, essential dan high performance school. Sedangkan excellent school yang sepadan dengan sekolah unggulan sangat jarang digunakan. Poster misalnya, meskipun memberikan judul Creating an Excellent School untuk bukunya, namun dalam content nya sendiri selalu merujuk pada Effective School. Maka dari itu, penyusun lebih memilih effective school sebagai pijakan terminologi sekolah unggulan. Namun demikian, pemadanan term sekolah unggulan dengan efficience school dan excellent school memiliki dimensinya tersendiri yang juga patut dikaji.
Dari beberapa pengertian mengenai sekolah unggul, yang akan dibahas lebih dalam yaitu mengenai sekolah unggul yang berarti madrasah model. Tujuan umum dari program madrasah model untuk mendorong tercapainya tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana termaktub dalam UU No. 2 Tahun 1989. Secara khusus bertujuan untuk menghasilkan output pendidikan yang unggul, dalam IMTAK dan IPTEK, memiliki nasionalisme dan patriotisme yang tinggi, memiliki motivasi dan komitmen untuk mencapai prestasi dan keunggulan, seerta berkepribadian kokoh, peka sosial dan berjiwa kepemimpinan, berdisiplin, dan kondisi fisik prima. Sementara itu, fungsi medrasah model meliputi: sebagai percontohan bagi madrasah satelit di sekitarnya, sebagai pusat kegiatan belajar mengajar yang inovatif, dan sebagai pusat pemberdayaan kemandirian madrasah dan masyarakat lingkungan.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia relatif lebih mudah dibanding pesantren. Ia lahir pada abad 20 dengan munculnya Madrasah Manba’ul Ulama Kerajaan Surakarta tahun 1905 dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909 (Malik Fajar, 1998). Madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan sistem pendidikan islam yang telah ada. Pembaharuan tersebut, menurut Karl Sternbrink (1986), meliputi tiga hal, yaitu:
a. Usaha penyempurnaan sistem pendidikan pesantren
b. Penyesuaian dengan sistem pendidikan barat, dan
c. Upaya menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren dan sistem pendidikan Barat.
2. Tipe-tipe Sekolah Unggulan
a. Tipe 1
Tipe ini seperti yang diuraikan di atas, dimana sekolah menerima dan menyeleksi secara ketat siswa yang masuk dengan kriteria memiliki prestasi akademik yang tinggi. Meskipun proses belajar-mengajar sekolah tersebut tidak luar biasa bahkan cenderung ortodok, namun dipastikan karena memilih input yang unggul, output yang dihasilkan juga unggul.
b. Tipe 2
Sekolah dengan menawarkan fasilitas yang serba mewah, yang ditebus dengan SPP yang sangat tinggi. Konon, untuk sekolah dasar unggulan di Parung, Bogor uang pangkalnya saja bisa sekitar lebih dari 7 juta. Mahal? Nggak juga tuh, buktinya banyak orang-orang Indonesia yang sekolah di sana. Tidak mahal menurut mereka dibandingkan biaya sekolah di luar negeri, dan memang sekolah ini dibangun untuk membendung arus warga negara Indonesia yang berbondong-bondong sekolah ke luar negeri. Otomatis prestasi akademik yang tinggi bukan menjadi acuan input untuk diterima di sekolah ini, namun sekolah ini biasanya mengandalkan beberapa “jurus” pola belajar dengan membawa pendekatan teori tertentu sebagai daya tariknya. Sehingga output yang dihasilkan dapat sesuai dengan apa yang dijanjikannya.
c. Tipe 3
Sekolah unggul ini menekan pada iklim belajar yang positif di lingkungan sekolah. Menerima dan mampu memproses siswa yang masuk sekolah tersebut (input) dengan prestasi rendah menjadi lulusan (output) yang bermutu tinggi.
Ada baiknya kita lihat definisi dari sekolah unggulan yang berkembang saat ini. Sekolah Unggulan adalah Terjemahan bebas dari “Effective School”
An Effective School is a school that can, in measured student achievement terms, demonstrate the joint presence of quality and equity. Said another way, an Effective School is a school that can, in measured student achievement terms and reflective of its “learning for all” mission, demonstrate high overall levels of achievement and no gaps in the distribution of that achievement across major subsets of the student population.
(Suatu Sekolah Efektif adalah suatu sekolah yang mampu, dalam meningkatkan prestasi siswa secara terukur, kehadiran menampakkan kwalitas dan mutunya. Pengertian lain, suatu Sekolah Efektif adalah suatu sekolah yang mampu, dalam meningkatkan prestasi siswa dengan terukur dan yang mampu melejitkan kemampuannya " pelajaran untuk semua" misi, mempertunjukkan tinggi keseluruhan tingkat pencapaian dan tidak ada gap di dalam hubungan yang menyangkut prestasi itu secara berlawanan terhadap semua siswa).
3. Ciri-ciri Sekloah Unggulan
a. Kepemimpinan Kepala Sekolah yang Profesional
Kepala Sekolah seharusnya memiliki kemampuan pemahaman dan pemahaman yang menonjol. Dari beberapa penelitian, tidak didapati sekolah yang maju namun dengan kepala sekolah yang bermutu rendah. Artinya, kepala sekolah ditunutu untuk menjalankan perannya sebagai professional kader dalam tindakan dan perilakunya. Baik itu dalam tim kerja dikalangan guru maupun dalam membangun jaringan dengan pihak lain. Selain itu, kepala sekolah juga harus mempunyai tujuan menengah yang jelas sebagai batu loncatan menuju tujuan utamanya untuk membawa seklah menjadi unggul.
Pertama, kerja sama dengan guru-guru dan dengan cara-cara yang elegan kepala sekoalh dapat memperoleh informasi yang diperlukan untuk meningkatkan mutu pembelajaran, merancang dan menjalankan program berdasarkan konsep “school based development”. Disamping itu juga dituntut untuk memiliki kemampuan mengikhtisarkan kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan kemampuan professional dari para guru dan staf merupakan manifestasi dari perannya sebagai supervisor.
Kedua, melakukan penilaian terhadap guru-guru sebagai bagian dari kebijakan sekolah secara keseluruhan. Penelitian itu dilandaskan pada ketentuan rasional dan obyektif yang telah disepakati oleh seluruh pihak dalam madrasah. Penelitian merupakan cara untuk mendapatkan masukan berupa aspirasi, persoalan pribadi yang member pengaruh terhadap kinerja personal, dan factor-faktor yang menjadi kendala atau yang mendorong perwujudan performansi unggul dalam melaksanakan tugas.
Ketiga, merumuskan kebijakan dan pelaksanaannya untuk proses pembelajaran dan menciptakan kondisi yang mendukung terciptanya keunggulan. Ini merupakan dukungan bagi pengelolaan kegiatan pendidikan yang perlu dibangun oleh kepala sekolah.
Keempat, pengelolaan sumber sekolah dapat dipertanggungjawabkan untuk menumbuhkembangkan kepercayaan dalam hal pendayagunaan sumber dalam mewujudkan tujuan, memenuhi kebutuhan, melaksanakan kebijakan dan untuk kegiatan perencanaan.
Kelima, evaluasi penyelenggara program pendidikan yang berkesinambungan untuk mendapatkan informasi tentang sejauh mana tujuan, kebutuhan, prioritas dan standar mutu dapat dilaksanakan dan dicapai merupakan fungsi kendali mutu.
Keenam, melakukan koordinasi pada tingkat horisontal dan vertikal untuk memastikan efektifitas dan efisien penggunaan sumber-sumber (personel, waktu, dana, kurikulum dan kegiatan).
Ketujuh, mengantisipasi resiko atau hambatan-hambatan yang mempengaruhi kualitas pembelajaran.
b. Guru-guru yang tangguh dan professional
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1980) telah merumuskan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki guru dan mengelompokkannya atas tiga dimensi umum kemampuan, yaitu kemampuan professional, kemampuan social, kemampuan personal. Lebih lanjut Depdikbud (1980) merinci tiga kelompok kemampuan tersebut menjadi 10 kemampuan dasar, yaitu:
1) Penguasaan bahan pelajaran beserta konsep-konsep dasar keilmuannya.
2) Pengelolaan program belajar-mengajar.
3) Pengelolaan kelas.
4) Penggunaan media dan sumber pembelajaran.
5) Penguasaan landasar-landasan kependidikan.
6) Pengelolaan interaksi belajar-mengajar.
7) Penilaian prestasi siswa.
8) Peengenalan fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan.
9) Pengenalan dan penyelenggaraan administrasi sekolah.
10) Pemahaman prinsip-prinsip dan pemanfaatan hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan peningkatan mutu pengajaran.
c. Memiliki tujuan pencapaian filosofis yang jelas
Tujuan filosofis diwujudkan dalam bentuk Visi dan Misi seluruh kegiatan sekolah. Tidak hanya itu, visi dan misi dapat di cerna dan d ilaksanakan secara bersama oleh setiap elemen sekolah.
d. Lingkungan yang kondusif untuk pembelajaran
Lingkungan yang kondusif bukanlah hanya ruang kelas dengan berbagai fasilitas mewah, lingkungan tersebut bisa berada di tengah sawah, di bawah pohon atau di dalam gerbong kereta api -siapa yang sudah baca Toto Chan?- Yang jelas lingkungan yang kondusif adalah yang lingkungan yang dapat memberikan dimensi pemahaman secara menyeluruh bagi siswa
e. Jaringan organisasi yang baik
Jelas, organisasi yang baik dan solid baik itu organisasi guru, orang tua akan menambah wawasan dan kemampuan tiap anggotanya untuk belajar dan terus berkembang. Serta perlu pula dialog antar organisasi tersebut, misalnya forum Orang Tua Murid dengan forum guru dalam menjelaskan harapan dari guru dan kenyataan yang dialami guru di kelas.
f. Kurikulum yang baik
Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang selalu mengalami inovasi. Ada beberapa ciri model kurikulum yang dikembangkan, yaitu:
1) Menentukan tema-tema yang membentuk suatu kesatuan (unifying theme), yang terdiri atas idea atau konsep besar yang dapat mencakup semua ilmu atau suatu proses kerja ilmu, fenomena alam, atau masalah social yang membutuhkan pemecahan secara ilmiah.
2) Menyatukan kegiatan belajar dari beberapa disiplin ilmu. Kegiatan belajar melibatkan isi dan proses dari satu atau beberapa ilmu social atau perilaku yang mempunyai hubungan dengan tema yang dipilih/dikerjakan.
3) Menyatukan berbagai cara/metode belajar. Kegiatan belajar ditekankan pada pengalaman konkret yang bertolak dari minat dan kebutuhan murid serta disesuaikan dengan keadaan setempat.
Permasalahan di Indonesia adalah kurikulum yang sentralistik dimana Diknas membuat kurikulum dan dilaksanakan secara nasional. Dengan hanya memuat 20% muatan lokal menjadikan potensi daerah dan kemampuan mengajar guru dan belajar siswa terpasung. Selain itu pola evaluasi yang juga sentralistik menjadikan daerah semakin tenggelam dalam kekayaan potensi dan budayanya.
Ada baiknya kemampuan membuat dan mengembangkan kurikulum disesuaikan di tiap daerah bahkan sekolah. Pusat hanya membuat kisi-kisi materi yang akan diujikan secara nasional. Sedang pada pelaksanaan pembelajaran diserahkan kepada daerah dan tiap sekolah menyusun kurikulum dan target pencapaian pembelajaran sendiri. Diharapkan akan muncul sekolah unggulan dari tiap daerah karena memiliki corak dan pencapaian sesuai dengan potensinya. Seperti misalnya sekolah di Kalimantan memiliki corak dan target pencapaian mampu mengolah hasil hutan dan tambang juga potensi seni dan budaya mampu dihasilkan sekolah-sekolah di Bali.
g. Evaluasi belajar yang baik berdasarkan acuan patokan untuk mengetahui apakah tujuan pembelajaran dari kurikulum sudah tercapai.
Kurikulum dalam pendidikan berkenaan dengan tiga hal, yaitu: evaluasi sebagai moral judgement, evaluasi dan penentuan keputusan, evaluasi, dan konsensus nilai. Bila kurikulum sudah tertata rapi dan jelas, akan dapat teridentivikasi dan dapat terukur targer pencapaian pembelajaran sehingga evaluasi belajar yang diadakan mampu mempetakan kemampuan siswa.
h. Partisipasi orang tua murid yang aktif dalam kegiatan sekolah.
Di sekolah unggulan dimanapun, selalu melibatkan orang tua dalam kegiatannya. Kontribusi yang paling minimal sekali adalah memberikan pengawasan secara sukarela kepada siswa pada saat istirahat. Pada proses yang intensif, orang tua dilibatkan dalam proses penyusunan kurikulum sekolah sehingga orang tua memiliki tanggung jawab yang sama di rumah dalam mendidik anak sesuai pada tujuan yang telah dirumuskan. Sehingga terjalin sinkronisasi antara pola pendidikan di sekolah dengan pola pendidikan di rumah
Pada akhirnya sekolah unggulan adalah program bersama seluruh masyarakat, yang tidak hanya dibebankan kepada pemerintah, sekolah dan orang tua secara perorangan. Namun menjadi tanggung jawab bersama dalam peningkatan SDM Indonesia.
4. Karakteristik Sekolah Unggulan
Menurut M. Ali Hasan dan Mukti Ali mempunyai pandangan bahwa yang muncul tentang sekolah unggul atau madrasah model dikatagorikan menjadi beberapa poin, yaitu:
a. Madrasah model sering dikenal dengan sekolah unggul yang dipresentasikan dalam sekolah atau madrasah yang memiliki:
1) Fasilitas pembelajaran yang lengkap atau mewah
2) Kurikulum plus, yaitu kurikulum standar pemerintah plus muatan-muatan yang diturunkan dari visi dan misi lembaga.
3) Laboratorium lengkap untuk mendukung pembelajaran bahasa asing dan pembelajaran sains.
4) Perpustakaan yang memiliki koleksi lengkap untuk mendukung pengembangan bahan pelajaran dan mendorong anak dalam memahami konsep-konsep yang diajarkan untuk berbagai bidang studi.
5) Guru diseleksi berdasarkan distinative competencis
6) Murid yang diterima merupakan anak yang terpilih berdasarkan saringan prestasi akademik dari jenjang sebelumnya.
7) Waktu pembelajaran lebih panjang dibandingkan sekolah biasa karena ada kurikulum misi.
8) Biaya sekolah cukup tinggi karena orang tua murid berasal dari kelas social ekonomi tinggi yang dapat mengakses model sekolahan semacam ini.
9) Tingkat kesejahteraan yang baik sehingga menjamin seorang guru untuk betah mengajar hanya disekolah yang bersangkutan.
10) Menggunakan model asrama, bahkan ada yang diantaranya sekolah unggulan yang menggunakan disiplin gaya militer.
b. Sekolah unggulan atau madrasah model merupakan hasil perubahan paradigm sekolah sebagai lembaga pendidikan auditorium menjadi laboratorium. Dimana dimana dalam paradigma lama peserta didik diibaratkan mengunkung suatu pertunjukan yang mana menyaksikan langsung, mencatat dan mendiskusikannya. Sedangkan dalam paradigma laboratorium, peserta didik didorong aktif untuk mengembangkan keingintahuannya, konsentrasi dan berdiskusi dengan guru serta narasumber tentang materi-materi yang belum dipahami. Murid membahas permasalahan dan sekaligus memberikan solusi. Sedangkan guru bertindak sebagai fasilitator. Disini para siswa didorong untuk aktif dalam menyelesaikan tugas dengan penuh kesadaran, kebebasan dan bertanggung jawab secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. Selain itu, siswa juga memahami apa yang dipelajari, memiliki kemampuan untuk mengalihkan apa yang dipahami dalam pendekatan pemecahan masalah, memiliki kemandirian dan kemampuan kerja sama, serta memiliki keterampilan berkomunikasi dan mengambil keputusan.
Karakteristik sekolah unggulan, dalam hal ini adalah madrasah model, yaitu:
1) Peningkatan pendidikan agama Islam melalui mata pelajaran Al-Quran, hadits, keimanan, sejarah Islam dan pelajaran agama lainnya.
2) Peningkatan pendidikan Islam melalui mata pelajaran selain pendidikan agama Islam
3) Peningkatan pendidikan Islam melalui pendidikan ekstrakurikuler
4) Peningaktan pendidikan Islam melalui penciptaan suasana keagamaan yang kondusif
5) Peningkatan pendidikan Islam melalui pembiasaan dan pengamalan agama dan shalat berjamaah di sekolah.
C. Kesimpulan
Sekolah unggulan pada umumnya hanya menerima siswa-siswa yang unggulan juga. Fasilitasnya pun pada umumnya lengkap. Dengan input yang bagus dan sarana-prasamna yang menunjang, maka pada akhir tahun pun tak mengherankan kalau prestasinya mentereng. Nilai-nilai siswa sekolah unggulan akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa umumnya. Hal ini biasanya juga akan berimbas pada jenjang pendidikan berikutnya. Siswa-siswa dari sekolah unggulan akan lebih mudah diterima di jenjang pendidikan berikutnya. Sekolah yang biasa-biasa saja biasanya menerima murid dari tingkat kecerdasan mana pun, bahkan mungkin ada sekolah yang kebanyakan siswanya adalah limpahan siswa yang tidak diterima di tempat lain.
Dari kenyataan di atas, maka perlu dipikirkan ulang apakah sekolah-sekolah unggulan tersebut pantas untuk dijuluki sekolah unggulan. Padahal, sekolah yang dikatakan unggalan hanya mau menerima siswa yang nilainya tinggi, yang tinggal dipoles sedikit dan jadilah siswa-siswa unggulan yang membawa nama hanim sekolah tersebut.
Sebaliknya, kerja ekstrakeras harus dilakukan oleh sekolah nonunggulan. Sekolah yang dikatakan nonunggulan harus meng-upgrade kemampuan siswa yang pas-pasan dalam waktu yang sama dengan sekolah unggulan. Sekolah nonunggulan juga masih dihantui dengan sarana-prasarana yang minim. Tak mengherankan kalau para guru harus jungkir balik agar para murid memahami satu bab mata pelajaran saja.
Dari itu semua, selayaknya paradigma sekolah unggulan diubah. Gelar sekolah unggulan seharusnya diberikan kepada sekolah-sekolah yang mampu mendidik murid-murid yang biasa menjadi murid-murid yang luar biasa, from zero to hero. Itulah yang layak disebut sebagai sekolah unggulan.
Jadi bukan sekolah yang input-nya bagus kemudian output-nya juga bagus karena itu merupakan hal yang wajar. Pemerintah sendiri diharapkan benar-benar memperhatikan pemerataan pendidikan. Selayaknya setiap sekolah memiliki fasilitas yang sama baiknya. Kualitas para guru juga harus diperhatikan. Dengan adanya standardisasi ini, tata tinggal melihat bagaimana sekolah berlomba-lomba menghasilkan output yang berkualitas.




KELOMPOK 7
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH Oleh: Fera kurniawati, Firmadatil Izzah, Ummi Salamah
A. PENDAHULUAN
Peningkatan mutu pendidikan merupakan sasaran pembangunan dibidang pendidikan nasional dan merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia secara menyeluruh. Pemerintah, dalam hal ini menteri pendididkan Nasional telah mencanangkan “Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan” pada tanggal 12 mei 2002, dan lebih focus setelah diamannatkan dalam Undang-Undang Sisdiknas (2003) bahwa tujuan pendidikan bangsa adalah “untuk mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Menyadari hal tesebut pemerintah telah melakukan penyempurnaan system pendidikan, baik melalui penataan perangkat lunak (soft ware) maupun perangkat keras (hard ware). Upaya tersebut dengan dikeluarkannya Undang-Undanng Nomor 22 dan 25 tahun 1999 tentang otonomi Daerah, serta diikuti oleh penyempurnaan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yang secara langsung berpengaruh terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan.
Awalnya manajemen pendidikan merupakan wewenang pusat (Sentralisasi) yang mana telah terbukti tidak membawa kemajuan yang berarti bagi peningkatan kualitas pendidikan umumnya. Manajemen yang sentralistis telah menyebabkan terjadinya pemandulan kreativitas pada satuan pendidikan pada berbagai jenis jenjang pendidikan. Dengan berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah maka Pemerintah daerah kota mempunyai wewenang untuk meningkatkanmutu pendidikan didaearh masing-masing. Sehingga yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kebijakan secara langsung adalah guru dan kepala sekolah. Melalui pemberlakuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS bukan sekedar mengubah pendekatan pengelolahan sekolah dari yang sentralistis kedesentralistis, tetapi lebih dari itu melalui MBS diyakini akan muncul kemandirian sekolah.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Manajemen berbasis sekolah (MBS) atau School Based Management (SBM) merupakan strategi untuk mewujudkan sekolah yang efektif dan produktif. Dengan melibatkan semua kelompok yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan guna memenuhi kebutuhan mutu sekolah. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelolah pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelolah sekolah secara mandiri.
MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelolah sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasinya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan sekolah. Pelibatan masyarakat dimaksudkan agar mereka lebih memahami, membantu, dan mengontrol pengeolahan pendidikan. Kebijakan nasioanal yang menjadi prioriotas pemerintah harus pula dilakukan oleh sekolah. Sekolah dituntut secara mandiri menggali, mengalokasikan, menenntukan prioritas, mengendalikan dan mempertanggung jawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah.
Indicator keberhasilan MBS yang dapat diukur dan dirasakan oleh para stakeholders pendidikan adalah adanya peningkatan mutu pendidikan disekolah. MBS tertumpu pada sekolah dan masyarakat serta jauh dari birokrasi yang sentralistis. MBS berpotensi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, pemerataan, efesien, serta manajemen yang tertumpu pada tingkat sekolah.
2. KONSEP DASAR MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
MBS merupakan salah satu wujud reformasi pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah untuk mengatur kehiduapan sesuai dengan potensi, tuntutan, dan kebutuhannya. Pada system MBS ini sekolah memiliki hak penuh dan otoritas dalam menetapkan program-program pendidikan dan berbagai kebijakan sesuai dengan visi,misi, dan tujuan pendidikan. Sekolah dituntut menetapkan berbagai program dan kegiatan, menentuikan prioritas, mengendalikan pemberdayaan berbagai potensi sekolah dan lingkungan sekitar, serta mempertanggung jawabkannya kepada masyarakat.
Dalam system MBS, semua kebijakan sekolah ditentukan oleh komite sekolah dan dewan pendsidiakn. Badan ini meruapkan lembaga yang ditetapkan berdasarkan pada musyawarah dari pejabat daerah setempat, komisi pendidikan, pada dewan perwakilan daerah (DPRD), pejabat pendidikan daearah, kepala sekolah, tenga kependidikan, perwakilan orang tua peserta didik, dan tokoh masyarakat. Lembaga inilah yang menetapkan segala kebijakan sekolah berdasarkan ketentuan tentang pendidikan yang berlaku. Selanjutnya, komite sekolah perlu merumuskan dan menetapkan visi, misi, dan tujuan sekolah dengan berbagai implikasinya terhadap program-program kegiatan operasional untuk mencapai tujuan sekolah.
3. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah
Tujuan utam MBS adalah meningkatkan efesien, mutu, dan pemeratan pendidikan. Peningkatan efesien antara lain, diperolah melalui keleluasaan mengelolah sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederhanan birokrasi. Peningkatan pendidikan dapat diperoleh melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolahan sekilah dan kelas, peningkatan profesional guru dan kepala sekolah, berlaku system insentif dan disentif. Peningkatan pemertaan pendidikan antara lain diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih konsentrasi pada kelompok tertentu. Hal ini dimungkinkan karena pada sebagian masyarakat tumbuh rasa kepemilikan yang tinggui terhadap sekolah.
Manajemen sekolah bertujuan untuk mendirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan diberikannya kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan kurikulum, guru didorong untuk berinovasi dengan melakukan eksperimen-eksperimen dilingkungan sekolah.
Dengan adanya sumber daya otonomi, memberikan tanggung jawab pengelolahan sumber daya dan pengembangan strategi MBS sesuai dengan kondisi setempat, sekoalh dapat lkebih meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebih berkosentrasi pada tugas. Keluasan dalam mengelolah sumber daya serta masyarakat untuk berpatisipasi, mendorong profesionalisme kepala sekolah dalam berperan sebagai manajer maupaun pemimpin sekolah. Penyusunan kurikulum efektif, rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan meningkatkan dan menjamin layanan pendidikan sesuai dengan tuntunan peserta didik dapat dimaksimalkan melalui peningkatkan partisipasi orang tua, misalnya orang tua dfapat langsung mengawasi anaknya dalam proses belajar mengajar.
MBS mengharapkan keterlibatan berbagai pihak untuk meningkatkan pendidikan sehingga dapat mendukung efektivitas dalam pencapaian tujuan sekolah. Adanya control dari masyarakat dan monitoring dari pemerintah, pengelolaan sekolah menjadi lebih akuntabel, transparan, egaliter dan demokratis, serta menghapuskan monopoli dalam pengelolan pendidikan.
4. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah
MBS sebagai bentuik operasional desentralisasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah akan memberikan wawasan baru terhadap system yang sedang berjalan selama ini. Hal ini diharapkan dapat mebawa dampak terhadap peningkatan efesiensi dan efektivitas sekolah, dengan menyediakan layanan pendidikan yang komprehnsif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat karena peserta didik biasanya berasal dari kalangan yang berbeda baik kesukuan maupun status social, untuk itu perhatian sekolah harus ditujukan pada pemeratan baik dalam bidang social, ekonomi, maupun politik. Disisi lain, sekolah juga harus meningkatkan efesien, partisipasi dan mutu serta bertanggung jawab terhadap masyarakat dan pemerintah.
Karakter MBS dapat diketahui antara lain sekolah dapat mengoptimalkan kinerjanya, proses pembelajaran, pengelolaan sumber belajar, profesionalisme tenaga kependidikan, serta system administrasi secara keseluruhan. Sejaln dengan itu, Saud (2002) berdasarkan pelaksanaan dinegara maju mengemukakan bahwa karakteristik dasar MBS adalah pemberian otonomi yang luas kepada sekolah, partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik yang tinggi, kepemimpinan sekolah yang demokratis dan profesional, serta adanya team work yang tinggi dan profesional.
Dalam buku Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah yang dikeluarkan oleh Direktorat Pendidkan Menengah Umum, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas (1999:6-7) beberapa indicator yang menjadi karakteristik dari konsep MBS sekaligus merefleksikan peran dan tanggung jawab masing-masing pihak antara lain sebagai berikut:
1. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib
2. Sekolah memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai
3. Sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat
4. Adanya harapan yang tinggi dan personil sekolah (kepala sekolah, guru, dan staff lainnya, termasuk siswa) untuk berprestasi
5. Adanya pengembangan staff sekolah yang terus menerus sesuai dengan tuntutan IPTEK
6. Adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan dan perbaikan mutu
7. Adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua siswa dan masyarakat lainnya.
Uraian diatas mengambarkan bahwa pendekatan MBS menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen sekolah atau komponen lainnya termasuk kepala sekolah, guru, dan tenaga atau stsff administrasi termasuk orang tua dan masyarakat, dalam memandang, memahami, dan membantu sekolah melaksanakan tugas pengelolahannya. Dengan didukung oleh pengelolaan system informasi yang presentatif dan valid mereka juga dapat berperan sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan evaluasi.
Ciri-ciri yang dapat dengan mudah untuk mengetahui sekolah telah berhasil menggunakan pendekatan MBS adalah dengan melihat sejauhmana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, kegiatan proses pembelajaran, pengelolaan SDM, dan pengelolaan sumber daya administrasi lainnya. Karena orentasi dan program SBM ini adalah peningkatan mutu penyelenggaran pendidikan untuk menghasilkan output yang berkualitas, maka sekolah diharapkan dapat bersikap responsive terhadap kebutuhan masing-masing siswa dan masyarakat sekolah. Prestasi belajar siswa dapat dioptimalkan melalui partisipasi langsung dari orangtua dan masyarakat. Untuk itu itu komitmen semua pihak ( personel sekolah, orangtua, peserat didik, dan masyarakat luas) dalam mengambil keputusan mengenai pengembangan disekolahnya
Walaupun MBS menawarkan otonomi dan kebebasan yang besar kepada sekolah, ekan tetapi tetap disertai tanggung jawab yang harus dipikul oleh sekolah. Sekolah tidak memiliki kapasitas untuk berjalan sendiri tanpa menghiraukan kebijakan prioritas dan standarisasi yang dirumuskan oleh pemerintah, karena bagaimana pun sekolah berada dalam suatu system pendidikan nasional. Pemerintah dalam hal ini berkewajiban membuat regulasi dan mengevaluasi pelaksanaannya.
MBS tidak mungkin dapat meningkatkan kualitas pendidikan apabila tidak didukung oleh sejumlah factor lainnya., yaitu :
1. Tingkat kemampuan ekonomi masyarakat
2. Sosial budaya, politik
3. Taraf pendidikan masyarakat
4. Kebijakan pemerintah
5. Organisasi dan kepempinan kepala sekolah
6. Strategi pembelajran dikelas
7. Tata laksana sekolah
8. Serta profesionalisme guru
9. Tenaga kependidikan lainya.
Sebagai tolok ukur dari beberapa keberhasilan aplikasi MBS telah ditetapkan (16) indikator keberhasilannya meliputi:
1. Efektivitas proses pembelajaran
2. Kepempinan sekolah yang kuat
3. Sekolah memiliki budaya mutu
4. Pengelolahan tenaga kependidikan yang efektif
5. Sekolah memiliki “team work”yang kompak, cerdas, dan dinamis
6. Sekolah memiliki kemandirian
7. Partisipasi warga sekolah dan masyarakat tinggi
8. Sekolah memiliki transparansi
9. Sekolah memiliki kemauman untuk berubah, baik psikologis maupun fisik
10. Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan
11. Sekolah responsive dan antisipatif terhadap kebutuhan
12. Sekolah memiliki akuntabilitas
13. Sekolah memiliki sustainabilitas
14. Output adalah prestasi sekolah
15. Penekanan angka drop out
16. Kepuasan staf sesuai dengan tugas dan kewenangannya
5. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia
Untuk mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah secara efektif dan efesien, kepala sekolah perlu memiliki pengetahuan kepemimpinan, perencanaan, dan pandangan yang luas tentang sekolah dan pendidikan. Wibawa kepala sekolah harus dikembangkan dengan meningkatkan sikap kepedulian, semangat belajar, disiplin kerja, keteladanan dan hubungan manusiawi sebagai modal perwujudan iklim kerja yang kondusif. Selain itu juga kepala sekolah dituntut berfungsi sebagai manajer sekolah dalam meningkatkan proses pembelajaran dengan melakukan supervisi kelas, membina, dan memberikan saran-saran positif kepada guru. Disamping itu juga, kepala sekolah juga harus melakukan tukar pikiran, sumbang saran, dan studi banding anatar sekolah untuk menyerap kiat-kiat kepemimpinan dari kepala sekolah yang lain.
Implementasi MBS perlu didukung dengan perubahan mendasar dalam kebijakan pengelolahan sekolah, maka akan kami uraiakan sebagai berikut:
a. Iklim sekolah yang kondusif
Pelaksanaan MBS perlu didukung oleh iklim sekolah yang kondusif agar tercipta suasana yang aman, nyaman, dan tertib, sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dengan tenang dan menyenangkan.
b. Otonomi sekolah
Kebijakan pengembangan kurikulum dan pembelajaran beserta system evaluasinya harus didesentralisasikan kesekolah, agar sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan masyarakat secara fleksibel. Pemerintah pusat, dalam hal ini Depdiknas, hanya menetapkan standar nasional yang pengembangannya diserahkan kepada sekolah.
c. Kewajban sekolah
pelaksanaannya perlu disertai seperangkat kewajiban, serta monitoring dan pertanggungjawaban yang relatif tinggi., untuk menjamin bahwa sekolah selain memilki otonomi juga mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan pemerintah dan memenuhi harapan masyarakat sekolah. Sehingga sekolah dituntut untuk mampu menampilkan pengelolaan sumber daya secara transparan, demokratis, tanpa monopoli, dan bertanggung jawab baik terhadap masyarakat maupun kepada pemerintah dalam rangka meningkatkan kapasitas pelayanan terhadap peserta didik.
d. Kepemimpinan kepala sekolah yang demokratis dan professional
Kepala sekolah merupakan “the key person” keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan disekolah. Ia adalah orang yang diberi tanggungjawab untuk mengelolah dan memperdayakan berbagai potensi masyarakat serta orangtua untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan sekolah. Kepala sekolah dituntut untuk menjalin kerjasama dengan berbagai sekolah untuk menambah wawasan atau pengetahuan tentang program-program yang ada disekolah-sekolah yang lain.
e. Partisipasi aktif masyarakat dan orang tua
Melalui dewan sekolah, orang tua dan masyarakat dapat berpatisipasi dalam pembuatan berbagai keputusan. Dengsan demikian, masyarakat dapat memahami, serta mengawasi dan membantu sekolah dalam pengelolaan termasuk kegiatan pembelajaran. Partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan pelaksanaan program sekolah masih rendah. Begitu juga dengan partisipasi orang tua peserta didik masih terbatas pada pemberian bantuan financial untuk mendukung kegiatan operasional sekolah.
C. PENUTUP
MBS merupakan memberikan kewenangan kepada pihak sekolah untuk otonomi mengurusi sekolahnya. Pemerintah pusat hanya memberikan standar nasional sehingga pengembangannya diserahkan pada sekolah untuk mengelolahnya. Dalam penerapan system MBS ini diharapkan keterlibatan dari semua pihak tidak hanya dari pihak sekolah saja melainkan para orangtua serta masyarakat. Sehingga terjadi kerjasama yang baik selain itu juga sekolah dapat berkembang dengan baik bila mendapat dukungan dari semua pihak.
Sehingga semua pihak ikut mengontrol dan mengawasi jalannnya proses pendidikan serta ikut serta dalam perncanaan, pengorganisasian, pelaksanaan program-program pendidikan disekolah, sehingga sekolah dapat berkembang dan maju sesuai dengan visi, misi dan tujuan sekolah. Sehingga pengelolaan sekolah menjadi akuntabel, transparan, egaliter dan demokratis, serta menghapuskan monopoli dalam pengelolaan pendidikan.


KELOMPOK 8
KURIKULUM DAN PENGAJARAN BERBASIS KOMPETENSI
Oleh: Ita Nurnita, Khoiratun Nisa, dan Rusminah

A. PENDAHULUAN
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk inovasi kurikulum. Kemunculan KBK seiring dengan munculnya semangat reformasi pendidikan, diawali dengan munculnya kebijakan pemerintah diantaranya dengan lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah; Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom; serta lahirnya Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Arah Kebijakan Pendidikan di masa depan.
Visi reformasi pembangunan dalam rangka penyelamatan dan reformasi kehidupan nasional adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sehat, mandiri beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, mengasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin.
Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi seperti yang digariskan dalam haluan Negara. Hal tersebut di harapkan dapat di jadikan landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara makro, meso, maupun mikro. Kerangka makro erat kaitannya dengan upaya politik yang saat ini sedang ramai dibicarakan yaitu desentralisasi kewenangan dari pemerintah pusat kedaerah, aspek mesonya berkaitan dengan kebijakan daerah tingkat provinsi sampai tingkat kabupaten, sedangkan aspek mikro melibatkan seluruh sector dan lembaga pendidikan yang paling bawah, tetapi terdepan dalam pelaksanaannya, yaitu sekolah.
Tujuan utama KBK adalah memandirikan atau memberdayakan sekolah dalam mengembangkan kompetensi yang akan disampaikan kepada peserta didik, sesuai dengan kondisi lingkungan. Peningkatan mutu dalam KBK antara lain akan diperoleh melalui reformasi sekolah (school reform), yang ditandai dengan meningkatnya partisipasi orang tua, kerja sama dengan dunia industry, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai control, serta hal lain yang menumbuhkembangkan budaya mutu dalam suasana yang kondusif. Pemerataan pendidikan tampak pada tumbuhnya partisipasi masyarakat terutama yang mampu dan peduli, sementara yang kurang mampu akan menjadi tanggung jawab pemerintah.
Implementasi KBK menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil, dan berkualitas agar dapat membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan otoritas daerah setempat, serta mengefisiensikan system dan menghilangkan birokrasi yang tumpang tindih. Implementasi KBK juga menuntut kerjasama yang optimal diantara para pengajar. Dengan kata lain KBK memerlukan pengajaran berbentuk team, dan menuntut kerjasama yang kompak diantara para anggota team.
KBK dapat diterapkan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan dan pada berbagai ranah pendidikan. Meskipun demikian, kurikulum ini tidak dapat digunakan untuk memecahkan seluruh permasalahan pendidikan, namun member makna yang lebih signifikan kepada perbaikan pendidikan. Salah satu dari upaya-upaya KBK yang menonjol dan dominan adalah pembelajaran individual, seperti modul dan pengajaran berprogram.
Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. berbangsa, dan bernegara di dalam negeri dan isu-isu mutakhir dari luar negeri yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia merupakan hal-hal yang harus segera ditanggapi dan dipertimbangkan dalam penyusunan kurikulum baru pada setiap jenjang pendidikan.
Beberapa hal yang melatarbelakangi penyusunan kurikulum baru antara lain:
1. Adanya peraturan penundang-undangan yang baru telah membawa implikasi terhadap paradigma pengembangan kurikulum pendidikan dasar dan menengah antara lain pembaharuan dan divensifikasi kurikulum, serta pembagian kewenangan pengembangan kurikulum.
2. Perkembangan dan perubahan global dalam berbagai aspek kehidupan yang datang begitu cepat telah menjadi tantangan nasional dan menuntut perhatian segera dan serius.
3. Kondisi masa sekarang dan kecenderungan di masa yang akan datang perlu dipersiapkan generasi muda termasuk peserta didik yang memiliki kompetensi yang multidimensional.
4. Pengembangan kurikulum harus dapat mengantisipasi persoalan-persoal-an yang mempunyai kemungkinan besar sudah dan/atau akan terjadi. Kurikulum yang dibutuhkan di masa depan adalah kurikulum yang mampu memberikan keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam perubahan, pertentangan, ketidakmenentuan, ketidakpastian, dan kesulitan dalam kehidupan. Oleh karena itu kurikulum secara berkelanjutan disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara nasional. Penyempurnaan kurikulum dilakukan secara responsif terhadap penerapan hak asasi manusia, kehidupan demokratis, persatuan dan kesatuan, kepastian hukum, kehidupan beragama dan ketahanan budaya, pembangunan daerah, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi, serta pengelolaan lingkungan. Kurikukulum Berbasis Kompetensi ini sebenarnya memiliki justifikasi didaktis pedagogis yang kuat untuk menggantikan Kurikulum 1994, karena pendidikan dengan kurikulum 1994 ternyata tidak melahirkan unjuk kerja siswa secara bermakna. Siswa banyak tahu informasi, tetapi tidak bermakna bagi kehidupannya.
B. PEMBAHASAN
1. Sosok Kurikulum 2004 untuk Jenjang Sekolah
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Isi kurikulum merupakan susunan dan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan, dalam rangka upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Sesuai dengan jiwa otonomi dalam bidang pendidikan seperti pada Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000, bidang pendidikan dan kebudayaan, pemerintah memiliki wewenang menetapkan: (1) standar kompetensi siswa dan warga belajar serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya, dan (2) standar materi pelajaran pokok.
Kurikulum berbasis kompetensi merupakan suatu desain kurikulum yang dikembangkan berdasarkan seperangkat kompetensi tertentu. Mengacu pada pengertian tersebut, dan juga untak merespons terhadap keberadaan PP No.25/2000, maka salah satu kegiatan yang perlu dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Depdiknas adalah menyusun standar nasional untuk seluruh mata pelajaran, yang mencakup komponen-komponen; (1) standar kompetensi, (2) kompetensi dasar, (3) materi pokok, dan (4) indikator pencapaian.
Standar kompetensi diartikan sebagai kebulatan pengetahuan, keterampilari, sikap, dan tingkat penguasaan yang diharapkan dicapai dalam mempelajari suatu matapelajaran. Cakupan standar kompetensi standar isi (content standard) dan standar penampilan (performance standard). Kompetensi dasar, merupakan jabaran dari standar kompetensi, adalah pengetahuan, keterampilan dan sikap minimal yang harus dikuasai dan dapat diperagakan oleh siswa pada masing-masing standar kompetensi. Materi pokok atau materi pembelajaran, yaitu pokok suatu bahan kajian yang dapat berupa bidang ajar, isi, proses, keterampilam, serta konteks keilmuan suatu mata pelajaran. Sedangkan indikator pencapaian dimaksudkan adalah kemampuan-kemampuan yang lebih spesifik yang dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menilai ketuntasan belajar.
Selanjutnya pengembangan kurikulum 2004, yang ciri paradigmanya adalah berbasis kompetensi, akan mencakup pengembangan silabus dan sistem penilaiannya. Silabus merupakan acuan untuk merencanakan dan melaksanakan program pembelajaran, sedangkan sistem penilaian mencakup jenis tagihan, bentuk instrumen, dan pelaksanaannya. jenis tagihan adalah berbagai tagihan, seperti ulangan atau tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik. Bentuk instrumen terkait dengan jawaban yang harus dilakukan oleh siswa, seperti bentuk pilihan ganda atau soal uraian.
Pengembangan kurikulum 2004 harus berkaitan dengan tuntutan standar kompetensi, organisasi pengalaman belajar, dan aktivitas untuk mengembangkan dan menguasai kompetensi seefektif mungkin. Proses pengembangan kurikulum berbasis kompetensi juga menggunakan asumsi bahwa siswa yang akan belajar telah memiliki pengetahuan dan keterampilan awal yang dibutuhkan untuk menguasai kompetensi tertentu. Oleh karenanya pengembangan Kurikulum 2004 perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut:
a. Berorientasi pada pencapaian hasil dan dampaknya (outcome oriented)
b. Berbasis pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
c. Bertolak dari Kompetensi Tamatan/ Lulusan
d. Memperhatikan prinsip pengembangan kurikulum yang berdiferensiasi
e. Mengembangkan aspek belajar secara utuh dan menyeluruh (holistik), serta
f. Menerapkan prinsip ketuntasan belajar (mastery learning).
2. Landasan Pengembangan KBK
a. Filosofi
Pancasila sebagai landasan Filosofi pengembangan kurikulum Nasional.Sebagai suatu sistem kurikulum nasional, KBK mengakomodasikan berbagai perbedaan secara tanggap budaya dengan memadukan beragam kepentingan dan kemampuan daerah. KBK menerapkan strategi yang meningkatkan kebermaknaan pembelajaran untuk semua peserta didik terlepas dari latar budaya, etnik, agama, dan gender melalui pengelolaan kurikulum berbasis sekolah. Dalam rekonsepstualisasi kurikulum ini digunakan landasan filosofis Pancasila sebagai dasar pengembangan kurikulum. Pancasila sangat relevan untuk penerapan filosofi pendidikan yang mendunia seperti empat pilar belajar (learning to be, leaning to know, learning to do, dan learning to life together).
b. Yuridis
1) TAP MPR No.IV/MPR/1999/BAB IV.E
2) GBHN (1999-2004) bab V tentang “Arah Kebijakan Pendidikan”
3) UU RI No. 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Otonomi Daerah yang substansinya menuntut perubahan dalam pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik ke desentralistik. Pergeseran pola sentralisasi ke desenstralisasi dalam pendidikan ini merupakan upaya pemberdayaan daerah dan sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan, terarah dan menyeluruh.
4) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas : bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa b ertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusiayang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, bertanggung jawab”
c. Sosiologis
1) Perkembangan kehidupan yang ditandai oleh beberapa ketimpangan dalam kehidupan, seperti moral, akhlak, jati diri bangsa, nsosial dan politik serta ekonomi.
2) Upaya peningkatan mutu pendidikan selama ini belum mencapai taraf yang memadai yang mampu meningkatkantaraf kehidupan masyarakat pada umumnya.
d. Empiris
1) Dalam kajian dokumen kurikulum di Indonesia sejak kurikulum 1975, 1984, dan 1994 pada dasarnya adalah kurikulum berbasismateri, sehinggadalam pembelajarannya terasa terburu-buru dan menekankan ketercapaian materi yang menjadi tuntutan kurikulum dan mengenyampingkan kebutuhan ketercapaian kompetensi yang seharusnya dikuasai siswa.
2) Dari hasil pengkajian terhadap literature, kurikulum, buku panduan, dan buku pelajaran di Negara-negara maju, seperti inggris, amerika serikat, Australia, dan singapura, perkembangan pendekatan kurikulum sejak akhir1960-an sampai dengan tahun 1980-an telah menggunakan pendekatan berbasis kompetensi dan pendekatan belajar tuntas.
3. Pengertian Kompetensi dan Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kompetensi yang sering disebut dengan standar kompetensi adalah kemampuan yang secara umum harus dikuasai lulusan. Kompetensi menurut Hall dan Jones (1976: 29) adalah "pernyataan yang menggambarkan penampilan suatu kemampuan tertentu secara bulat yang merupakan perpaduan antara pengetahuan dan kemampuan yang dapat diamati dan diukur". Kompetensi (kemampuan) lulusan merupakan modal utama untuk bersaing di tingkat global, karena persaingan yang terjadi adalah pada kemampuan sumber daya manusia. Oleh karena. itu, penerapan pendidikan berbasis kompetensi diharapkan akan menghasilkan lulusanyang mampu berkompetisi di tingkat global.
Implikasi pendidikan berbasis kompetensi adalah pengembangan silabus dan sistem penilaian berbasiskan kompetensi. Paradigma pendidikan berbasis kompetensi yang mencakup kurikulum, pembelajaran, dan penilaian, menekankan pencapaian hasil belajar sesuai dengan standar kompetensi. Kurikulum berisi bahan ajaryang diberikan kepada siswa/mahasiswa melalui proses pembelajaran. Proses pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan prinsip-prinsip pengembangan pembelajaranyang mencakup pemilihan materi, strategi, media, penilaian, dan sumber atau bahan pembelajaran. Tingkat keberhasilan belajar yang dicapai siswa/mahasiswa dapat dilihat pada kemampuan siswa/mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas yang harus dikuasai sesuai dengan staniar prosedur tertentu.
Gordon (1988:109) menjelaskan beberapa aspek atau ranah yang terkandung dalam konsep kompetensi sebagai berikut:
a. Pengetahuan (knowledge); yaitu kesadaran dalam bidang kognitif, misalnya seorang guru mengetahui cara melakukan identifikasi kebutuhan belajar, dan bagaimana melakukan pembelajaran terhadap peserta didik sesuai dengan kebutuhannya.
b. Pemahaman (understanding); yaitu kedalaman kognitif, dan afektif yang dimiliki oleh individu. Misalnya seorang guru yang akan melaksanakan pembelajaran harus memiliki pemahaman yang baik tentang karekteristik dan kondisi peserta didik, agar dapat melaksanakan pembelajaran secara efektif dan efisisen.
c. Kemampuan (skill); adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Misalnya kemampuan guru dalam memilih, dan membuat alat peraga sederhana untuk member kemudahan belajar kepada peserta didik.
d. Nilai (value); adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara psikologis telah menyatu dalam diri seseorang. Misalnya standar perilaku guru dalam pembelajaran (kejujuran, keterbukaan, demokratis dan lain-lain).
e. Sikap (attitude); yaitu perasaan (senang-tidak senang, suka tidak suka) atau reaksi terhadap suatu rangsangan yang dating dari luar. Misalnya reaksi terhadap krisis ekonomi, perasaan terhadap kenaikan upah/gaji, dan sebagainya.
f. Minat (interest); adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan. Misalnya minat untuk mempelajari atau melakukan sesuatu.
Berdasarkan pengertian kompetensi diatas, kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dapat diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (Kompetensi) tugas-tugas dengan standar performansi tertentu. KBK diarahk dan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap dan minat peserta didik agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kamahiran, ketepatan, dan keberhasilan dengan penuh tanggungjawab.
Kurikulum dapat dimaknai dengan tiga konteks, yaitu kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran, kurikulum sebagai pengalaman belajar, dan kurikulum sebagai perencanaan program belajar.
a. Pengertian kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik, merupakan konsep kurikulum yang sampai saat ini banyak mewarnai teori-teori dan praktik pendidikan. Kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran sering dihubungkan dengan usaha untuk memperoleh ijazah; sedangkan ijazah itu sendiri menggambarkan kemampuan. Oleh karena itu, hanya orang yang telah memperoleh kemampuan sesuai standar tertentu yang akan memperoleh ijazah.
b. Pengertian kurikulum sebagai pengalaman belajat, mengandung makna bahwa kurikulum adalah seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik didalam maupun diluar sekolah asal kegiatan tersebut berada di bawah tanggung jawab guru (sekolah). Yang dimaksud dengan kegiatan itu tidak terbatas pada kegiatan intra maupun ekstra kurikuler.
c. Sebagai suatu rencana kurikulum bukan hanya berisi tentang program kegiatan, akan tetapi juga berisi tentang tujuan yang harus ditempuh beserta alat evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian tujuan; disamping itu tentu saja berisi tentang alat atau media yang diharapkan dapat menunjang terhadap pencapaian tujuan. Kurikulum sebagai suatu rencana tampaknya juga sejalan dengan rumusan kurikulum menurut undang-undang pendidikan kita yang dijadikan sebagai acuan dalam penyelenggaraan system pendidikan, yaitu UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengartikan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 Ayat 19).
Depdiknas (2002) mengemukakan bahwa kurikulum berbasis kompetensi memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Menekankan pada ketercapaina kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
b. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcome) dan keberagaman.
c. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
d. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsure educatif.
e. Penilaian penekanan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Adapun tujuan dari kurikulum berbasis kompetensi adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk menghadapi perannya dimasa datang dengan mengembangkan sejumlah kecakapan hidup (life skill). Kecakapan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari dan menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya. Secara khusus kecakapan hidup itu bertujuan untuk:
a. Mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi.
b. Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsp pendidikan berbasis luas (broad based education).
c. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lingkungan sekolah dengan memberikan peluang pemanfaatan sumber daya yang ada di masyarakat, sesuai dengan manajemen berbasis sekolah.
4. Implementasi KBK di Sekolah
Implementasi kurikulum berbasis kompetensi sedikitnya akan dipengaruhi oleh tiga faktor sebagai berikut:
a. Karakteristik kurikulum, yang mencakup ruang lingkup ide baru suatu kurikulum dan kejelasannya bagi pengguna di lapangan.
b. Strategi implementasi, yaitu strategi yang digunakan dalam implementasi, seperti diskusi profesi, seminar, penataran, loka karya, penyediaan buku kurikulum, dan kegiatan-kegiatan yang dapat mendorong penggunaan kurikulum di lapangan.
c. Karakteristik pengguna kurikulum, yang meliputi pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap guru terhadap kurikulum, serta kemampuannya untuk merealisasikan kurikulum dalam pembelajaran.
Implementasi KBK di sekolah merupakan pengembangan kurikulum pada tingkat lembaga (institusional) yang akan bermuara pada pengembangan kurikulum pada tingkat bidang studi (penyusunan silabus) dan pelaksanaan proses pembelajaran. Dalam hal ini, implementasi KBK mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sebagai berikut:
a. Perencanaan
Kegiatan yang harus dilakukan dalam perencanaan pengembangan silabus KBK antara lain:
1) Mengidentifikasi dan menentukan jenis-jenis kompetensi dan tujuan setiap bidang studi.
2) Mengembangkan kompetensi dan pokok-pokok bahasan, serta mengelompokkannya sesuai dengan ranah pengetahuan, pemahaman, kemampuan (keterampilan), nilai dan sikap.
3) Mendeskripsikan kompetensi serta mengelompokkannya sesuai dengan ruang lingkup dan urutannya.
4) Mengembangkan indikator untuk setiap kompetensi dan kriteria pencapaiannya.
b. Pelaksanaan
Pelaksanaan KBK perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Pembelajaran harus lebih menekankan pada praktek, baik di laboratorium maupun di masyarakat dan dunia kerja (dunia usaha).
2) Pembelajaran harus dapat menjalin hubungan sekolah dengan masyarakat.
3) Perlu dikembangkan iklim pembelajaran yang demokratis, dan terbuka melalui pembelajaran terpadu.
4) Pembelajaran perlu ditekankan pada masalah-masalahaktual secara langsung berkaitan dengan kehidupan nyata yang ada di masyarakat.
5) Perlu dikembangkan suatu model pembelajaran moving class.
c. Evaluasi
Evaluasi KBK dapat dilakukan melalui penilaian berbasis kelas (PBK), yang dilaksanakan secara terpadu dengan pembelajaran, yang pelaksanaanya dapat dilakukan melalui pendekatan proses dan hasil belajar. PBK melalui pendekatan proses dan hasil belajar dapat dilakukan dengan pengumpulan hasil kerja peserta didik (portofolio), hasil karya (produk), penugasan (proyek), penampilan dan tes tertulis. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk memperbaiki program pembelajaran, menentukan tingkat penguasaan peserta didik terhadap kompetensi dasar atau prestasinya, dan menentukan keberhasilan penerapan KBK secara keseluruhan,
Untuk memberi kemudahan kepada guru dan kepala sekolah dalam menyukseskan implementasi kurikulum 2004, perlu dipahami prosedur pengembangan silabus, baik yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, evaluasi maupun revisi. Adapun format silabus kurikulum 2004 mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator dan materi pokok, seperti yang dikembangkan oleh Puskur Depdiknas sebagai berikut.
Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar,
Indikator, dan Materi Pokok

Kelas :
Standar Kompetensi :
Kompetensi Dasar Indikator Materi Pokok
……………………..
……………………..
…………………….. ………………….
………………….
…………………. ……………………….
……………………….
……………………….


Pengembangan persiapan mengajar dalam menyukseskan implementasi kurikulum 2004 dapat dilakukan melalui dua cara , yaitu menambah kolom yang lebih rinci pada format silabus dan membuat format terpisah dalm bentuk satuan pelajaran (Satpel).
a. Cara pertama (menambah kolom silabus)
Matrik Persiapan Mengajar
Kelas :
Standar Kompetensi :
Kompetensi Dasar Indikator Materi Pokok Pengalaman Belajar PBK Instrumen PBK Tugas Waktu Bahanmedia
dan sumber




b. Cara kedua (membuat format Satpel)
Format Persiapan Mengajar Bentuk Satpel
Kelas :
Standar kompetensi ;
Persiapan Mengajar
Mata Pelajaran : ……………………………………….
Satuan Pendidikan : ……………………………………….
Kelas/Semester : ……………………………………….
Alokasi Waktu : ……………………………………….
Kompetensi Dasar : ……………………………………….
Indikator : ……………………………………….
Materi Pokok : …………………………………….....
Penglaman Belajar : ………………………………………
Bahan, Media, dan Sumber : ……………………………………….
Penilaian : ……………………………………….


5. Proses Belajar Mengajar dalam Konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kita sering melihat bahkan mungkin merasakan peristiwa terhadap sebab murid yang kurang memperhatikan penjelasan kita sebagai guru di depan. Bagi seorang guru, peristiwa itu sering dianggap sebagai peristiwa yang menjengkelkan, sehingga ia mengganggap kalau kelas tersebut adalah kelas yang bandel, kelas yang tidak bisa diurus dan lain sebagainya.
Beberapa tinjauan yang dilakukan oleh guru dalam proses belajar mengajar:
a. Ketika mengajar guru tidak berusaha mencari informasi apakah materi yang diajarkannya sudah dipahami siswa atau belum. Kurangnya perhatian siswa seperti dalam peristiwa belajar mengajar diatas, jelas disebabkan oleh karena siswa sudah memahami informasi yang disampaikan guru, sehingga mereke menganggap materi itu tidak penting lagi.
b. Dalam proses belajar mengajar guru tidak berusaha mengajak berpikir kepada siswa. Komunikasi terjadi satu arah, yaitu dari guru ke siswa. Guru menganggap bahwa bagi siswa yang memahami materi pelajaran lebih penting dibandingkan dengan mengembangkan kemampuan berpikir.
c. Guru tidak berusaha mencari umpan balik mengapa siswa tidak mau mendengarkan penjelasannya.
Secara desrkipsi mengajar diartikan sebagai proses penyampaian informasi atau pengetahuan dari guru kepada siswa. Proses penyampaian itu sering juga dianggap sebagai proses mentransfer ilmu.
Sebagai proses penyampaian atau menanamkan ilmu pengetahuan, maka mengajar memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:
a. Proses Pengajaran Berorientasi pada Guru (Teacher Oriented)
b. Siswa sebagai Objek Belajar
c. Kegiatan Pengajaran Terjadi pada Tempat dan Waktu tertentu
d. Tujuan Utama Pengajaran adalah Penguasaan Materi Pelajaran
Kata “pembelajaran” adalah terjemahan dari “instruction”, yang banyak dipakai dalam dunia pendidikan Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi Kognitif-Wholistik, yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang diasumsikan dapat mempermudah siswa mempelajari segala sesuatu lewat berbagai macam media seperti bahan-bahan cetak, program televisi, gambar, audio, dan lain sebagainya, sehingga semua itu mendorong terjadinya perubahan peranan guru dalam mengelola proses belajar mengajar, dari guru sebagai sumber belajar menjadi guru sebagai fasilitator dalam belajar mengajar.
Terdapat beberapa karakteristik penting dari istilah pembelajaran:
a. Pembelajarn Berarti Membelajarkan Siswa
Dalam konteks pembelajaran, tujuan utama mengajar ialah membelajarkan siswa. Oleh sebab itu, criteria keberhasilan proses pembelajaran tidak diukur dari sejauh mana siswa telah menguasai materi pelajaran, akan tetapi diukur dari sejauh mana siswa telah melakukan proses belajar.
b. Proses Pembelajaran Berlangsung di mana saja
Siswa dapat memanfaatkan berbagai tempat belajar sesuai dengan kebutuhan dan sifat materi pelajaran. Ketika siswa akan belajar tentang fungsi pasar misalnya, maka pasar itu sendiri merupakan tempat belajar siswa.
c. Pembelajaran Berorientasikan pada Pencapaian Tujuan
Tujuan pembelajaran bukanlah penguasaan materi pelajaran, akan tetapi proses untuk mengubah tingkah laku siswa sesuai dengan tujuan yang akan dicapai.
Makna pembelajaran dalam konteks KBK ditunjukkan oleh beberapa ciri sebagai berikut:
a. Pembelajaran adalah Proses Berpikir
Dalam konteks KBK, belajar adalah proses berpikir. Belajar berpikir menekankan kepada proses mencari dan menemukan pengetahuan melalui interaksi antara individu dengan lingkungan.
b. Proses Pembelajaran adalah Memanfaatkan Potensi Otak
Dalam konteks KBK, pembelajaran berpikir adalah pemanfaatan dan penggunaan otak secara maksimal. Menurut beberapa ahli, otak manusia terdiri dari dua bagian yaitu otak kanan dan otak kiri. Masing-masing belahan otak memiliki spesialisasi dalam kemampuannya
c. Pembelajaran Berlangsung Sepanjang Hayat
Dalam konteks KBK, belajar adalah proses yang terus-menerus, yang tidak pernah berhenti dan tidak terbatas pada dinding kelas. Hal ini berdasar pada asumsi bahwa sepanjang kehidupannya manusia akan terus belajar. Dengan demikian sekolah dalam konteks KBK harus berperan sebagai wahana untuk memberikan latihan bagaimana cara belajar.
6. Kelebihan dan Kelemahan Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dikembangkan dengan tujuan memperbaiki kelemahan pada Kurikulum 1994. KBK menitikberatkan pada kompetensi yang harus dicapai siswa. Misalnya, standar kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia berorientasi pada hakikat pembelajaran bahasa, yaitu belajar bahasa pada hakikatnya belajar berkomunikasi dan belajar menghargai manusia serta nilai-nilai kemanusiaannya. Dengan demikian, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan pada peningkatan kemampuan berkomunikasi dan menghargai nilai-nilai, bukan pada kemampuan menguasai ilmu kebahasaan. Akan tetapi, ilmu bahasa dipelajari untuk mendukung keterampilan berkomunikasi. Kegiatan belajar pun dikembalikan pada konsep bahwa siswa akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika siswa mengalami apa yang dipelajarinya, bukan hanya “mengetahuainya”. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi “mengingat”, tetapi gagal dalam membekali siswa memecahkan persoalan dalam kehidupan nyata untuk jangka panjang.
Berdasarkan kajian teoretik dan pengalaman lapangan, sebenarnya KBK merupakan salah satu kurikulum yang memberikan konstribusi besar terhadap pengembangan potensi peserta didik secara optimal berdasarkan prinsip-prinsip konstruktivisme asal implementasinya benar. Beberapa kelebihan KBK antara lain:
a. Mengembangkan kompetensi-kompetensi siswa pada setiap aspek mata pelajaran dan bukan pada penekanan penguasaan konten mata pelajaran itu sendiri.
b. Mengembangakan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student oriented). Siswa dapat bergerak aktif secara fisik ketika belajar dengan memanfaatkan indra seoptimal mungkin dan membuat seluruh tubuh serta pikiran terlibat dalam proses belajar. Dengan demikian, siswa dapat belajar dengan bergerak dan berbuat, belajar dengan berbicara dan mendengar, belajar dengan mengamati dan menggambarkan, serta belajar dengan memecahkan masalah dan berpikir. Pengalaman-pengalaman itu dapat diperoleh melalui kegiatan mengindra, mengingat, berpikir, merasa, berimajinasi, menyimpulkan, dan menguraikan sesuatu. Kegiatan tersebut dijabarkan melalui kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
c. Guru diberi kewenangan untuk menyusun silabus yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi di sekolah/daerah masing-masing
d. Bentuk pelaporan hasil belajar yang memaparkan setiap aspek dari suatu mata pelajaran memudahkan evaluasi dan perbaikan terhadap kekurangan peserta didik.
e. Penilaian yang menekankan pada proses memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi kemampuannya secara optimal, dibandingkan dengan penilaian yang terfokus pada konten.
Disamping kelebihan, kurikulum berbasis kompetensi juga terdapat kelemahan. Kelemahan yang ada lebih banyak pada penerapan KBK di setiap jenjang pendidikan, hal ini disebabkan beberapa permasalahan antara lain:
a. Paradigma guru dalam pembelajaran KBK masih seperti kurikulum-kurikulum sebelumnya yang lebih pada teacher oriented
b. Kualitas guru, hal ini didasarkan pada statistik, 60% guru SD, 40% guru SLTP, 43% SMA, 34% SMK dianggap belum layak untuk mengajar di jenjang masing-masing. Selain itu 17,2% guru atau setara dengan 69.477 guru mengajar bukan bidang studinya. Kualitas SDM kita adalah urutan 109 dari 179 negara berdasarkan Human Development Index.
c. Sarana dan pra sarana pendukung pembelajaran yang belum merata di setiap sekolah, sehingga KBK tidak bisa diimplementasikan secara komprehensif.
d. Kebijakan pemerintah yang setengah hati, karena KBK dilaksanakan dengan uji coba di beberapa sekolah mulai tahun pelajaran 2001/2002 tetapi tidak ada payung hukum tentang pelaksanaan tersebut.
Di samping kelemahan dalam kebijakan dan implementasi KBK juga memiliki kelamahan dari sisi isi kurikulum, antara lain:
a. Dalam kurikulum dan hasil belajar indikator sudah disusun, padahal indikator sebaiknya disusun oleh guru, karena guru yang paling mengetahui tentang kondisi peserta didik dan lingkungan.
b. Konsep KBK sering mengalami perubahan termasuk pada urutan standar kompetensi dan kompetensi dasar sehingga menyulitkan guru untuk merancang pembelajaran secara berkelanjutan.
C. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, Perubahan kurikulum 1994 ke Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sebenarnya bertujuan perbaikan mutu pendidikan di Indoensia, mengingat dalam KBK berorientasi pada pemberian keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam perubahan, pertentangan, ketidakmenentuan, ketidakpastian, dan kesulitan dalam kehidupan dengan kata lain bagaimana aplikasi materi pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari peserta didik.
Penekanan pembelajaran yang berpusat pada siswa memungkinkan dapat mengeksplorasi potensi siswa secara optimal sehingga tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam undang-undang Sisdiknas dapat terelaisasi. Namun demikian dalam implementasi KBK di lapangan masih banyak kendala/kelemahan sehingga KBK yang dimulai tahun 2001 dan diterapkan secara meluas tahun 2004 (sehingga dikenal dengan kurikulum 2004) berhenti di tengah jalan dan diganti dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Secara umum KBK mengandung empat komponen dasar yaitu Kurikulum Hasil Belajar, Penilaian Berbasis Kelas, Kegiatan Belajar Mengajar, dan Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah mempunyai dimensi yang sangat strategis dalam proses pembelajar yang berorientasi pada konstruktivisme.
Bagaimanapun KBK dengan kelebihan dan kekurangannya telah memberikan dasar yang baik bagi terbentuknya kurikulum tingkat satuan pendidikan.










KELOMPOK 9
KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN Oleh: Kusniati, Linda Fitria, Rini Ismawati
A. PENDAHULUAN
Pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia dalam membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai yang ditetapkan, pendidikan merupakan fenomena manusia yang fundamental, yang juga mempunyai sifat konstruktif dalam hidup manusia, karena itulah kita dituntut untuk mampu mengadakan refleksi ilmiah tentang pendidikan tersebut sebagai pertanggung jawaban terhadap perbuatan yang dilakukan, yaitu mendidik dan dididik. Pasal 31 ayat 2 UUD 1945 mengamanatkan kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Di dalam system pendidikan nasional suatu bangsa, seluruh wilayah, budaya dan masyarakat, bangsa dan Negara merupakan lingkungan dari system pendidikan nasional yang bersangkutan. Inovasi pendidikan merupakan suatu perubahan yang baru dan bersifat kualitatif, berbeda dari hal yang yang ada sebelumnya hal tersebut sengaja diusahakan untuk meningkatkan kemampuan dalam rangka pencapaian tujuan tertentu dalam pendidikan, dalam hal inovasi pendidikan berbagai hal yang dilakukan dalam upaya mendapatkan mutu pendidikan yang baik, efektif dan efisien, diantaranya mengenai kurikulum pendidikan, dalam pendidikan seering terjadi perubahan atau perbaikan kurikulum dalam konteks ini tetap berpegang pada kurikulum nasional yang standar, namun dilakukan semacam modifikasi dan improvisasi secara maksimal,perbaikan kurikulum bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, atau paling tidak merupakan salah satu usaha dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Pada pokoknya, masalah kulitas pendidikan hendaknya disoroti berdasarkan dua kriteri, yakni kriteria proses dan kriteria produk Kriteria proses menitik beratkan pada efisiensi pelaksanaan kurikulum dan sistem instruktual, sedangkan criteria produk melihat kualitas pendidikan dari segi tujuan pendidikan yang hendak dicapai.untuk itu penulis mengkaji hal-hal tersebut diantaranya mengenai kurikulum khususnya KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Karakteristiknya Inovasi pendidikan merupakan perubahan pendidikan yang didasarkan atas usaha-usaha sadar, terencana, bepola dalam pendidikan yang bertujuan untuk mengarahkan sesuai dengan kebutuhan yang dihadapi dan tuntutan zamannya. Kurikulum sekolah merupakan instrument strategis untuk pengembangan kualitas sumber daya manusia baik jangka pendek maupun jangka panjang, kurikulum sekolah juga memiliki koherensi yang amat dekat dengan upaya pencapaian tujuan sekolah atau pendidikan, oleh karena itu perubahan dan pembaharuan kurikulum harus mengikuti perkembangan zaman. Karim (2000) berpendapat dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, salah satunya adalah dengan perubahan kurikulum, sehingga mulai cawu 2 tahun ajaran 2001/2002 sudah diperkenalkan kurikulum berbasis kompetensi yang merupakan pengembangan dari kurikulum 1994, dan kini dikenalkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang hampir sama dengan kurikulum berbasis kompetensi.. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi , kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. KTSP adalah kurikulum dilakukan dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan yang sudah siap dan mampu mengembangkannya dengan memprhatikan undang-undang No.2 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional pasal 36:
• Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Nasional.
• Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan dengan prinsif diversivikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik.
• Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah dan berpedoman pada standar kompetensi kelulusan.
Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas agar dapat membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan otoritas daerah setempat serta mengefisiensikan sistem dan menghilangkan birokrasi yang tumpang tindih. Adapun Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.
2. Konsep Dasar Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Dalam standar Nasional Pendidikan (SNP Pasal 1, ayat 15) dikemukkan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyusunan KTSP dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi serta kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan Nasional pasal 36 ayat 1 dan 2 yaitu:
1. Pengembangan Kurikulum mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan untuk mewudkan tujuan pendidikan Nasional.
2. Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
Ada beberapa hal yang perlu dipahami dalam kaitannya dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) diantaranya:
• KTSP dikembangkan sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, potensi dan karakteristik daerah.
• Sekolah dan komite sekolah mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi kelulusan.
• Kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk setiap program studi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.

3. LANDASAN PENGEMBANGAN KTSP
1. UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2. PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
3. Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
4. Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
5. Permendiknas No. 24 Tahun 2006 tentang pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23 Tahun 2006. Dalam UU-Sisdiknas No.20 tahun 2003 BAB X Pasal 36 ayat 1 disebutkan bahwa pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan piendidikan nasional. Sejalan dengan ketentuan tersebut, Oemar Hamalik dalam buku Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (2001) menambahkan bahwa “pendidikan nasional berakar pada kebudayaan nasional, dan pendidikan nasional berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.” berdasarkan ketentuan dan konsep-konsep tersebut. Peraturan pemerintah No. 19 tahun 2005 adalah peraturan tentang standar nasional pendidikan (SNP). SNP merupakan criteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hokum Negara kesatuan republic Indonesia (NKRI). Peraturan menteri pendidikan nasional No. 24 Tahun 2006 mengatur tentang pelaksanaan SKL dan standar isi. Dalam peraturan ini dikemukakan bahwa satuan pendidikan dasar dan menengah mengembangkan dan menetapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah sesuai kebutuhan satuan pendidikan yang berasangkutan, berdasarkan pada:
a. UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 36-38
b. Peraturan pemerintah No. 19 ahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 5-18, dan pasal 25-27.
c. Peraturan menteri pendidikan nasional No. 22 Tahun 2006 tentang standar isi dan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah.
d. Peraturan menteri pendidikan nasional No. 23 Tahun 2006 tentnag standar kompetensi lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah.
3. TUJUAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN(KTSP)
Tujuan dari karikulum tingkat satuan pendidikan terbagi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus, adapun tujuan umum dari kurikulum tingkat atuan pendidikan adalah:
• Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
• Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
• Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
5. CIRI-CIRI KTSP
1. KTSP memberi kebebasan kepada tiap-tiap sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah, kemampuan peserta didik, sumber daya yang tersedia dan kekhasan daerah.
2. Orang tua dan masyarakat dapat terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.
3. Guru harus mandiri dan kreatif.
4. Guru diberi kebebasan untuk memanfaatkan berbagai metode pembelajara.
C. KESIMPULAN
KTSP adalah suatu ide tentang pengembangan kurikulum yang diletakkan pada posisi yang paling dekat dengan pembelajaran, yakni sekolah dan satuan pendidikan. Pemberdayaan sekolah dan satuan pendidikan dengan memberikan otonomi lebih besar, disamping disamping menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat juga merupakan sarana peningkatan kualitas,efisiensi, dan pemerataan pendidikan, karena KTSP adalah satu wujud reformasi, pendidikan yang memberikan otonomi pada sekolah dan satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi, tuntutan, dan kebutuhan masing-masing.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan model kurikulum yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai penyempurnaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kurikulum ini lahir seturut dengan tuntutan perkembangan yang menghendaki desentralisasi, otonomi, fleksibilitas, dan keluwesan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pengalaman selama ini dengan sistem pendidikan yang sentralistik telah menimbulkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pusat sehingga kemandirian dan kreativitas sekolah tidak tumbuh. mengacu pada Standar Nasional Pendidikan. KTSP merupakan strategi pengembangan kurikulum untuk mewujudkan sekolah yang efektif, produktif, dan berprestasi. KTSP merupakan paradigma baru pengembangan kurikulum, yang otonomi luas pada setiap satuan pendidikan, dan pelibatan pendidikan masyarakat dalam rangka mengefektifkan proses belajar-mengajar di sekolah. Otonomi diberikan agar setiap satuan pendidikan dan sekolah meiliki keleluasaan dalam megelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Dengan adanya sistem KTSP, sekolah memiliki “full authority and respon sibility” dalam menetapkan kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan visi, misi dan tujuan tersebut, baik dalam konsep dasar KTSP, landasan pengembangan KTSP dan karektiristiknya.









KELOMPOK 10
STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN Oleh : Mirawati, Ngarofatul Khoiriyah, Nurhayati
A. PENDAHULUAN Keberadaan sekolah berstandar internasional menjadi fenomena menarik dunia pendidikan di Indonesia serta menjadi perbincangan tersendiri bagi banyak orang. Pendidikan masih merupakan persoalan yang krusial di Indonesia. Pendidikan diharapkan mampu mengeluarkan output yang bisa menjawab tantangan zaman dan sesuai dengan apa yang dicita-citakan namun kenyataan yang ada hasilnya tidaklah mudah diwujudkan, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pendidikan adalah project jangka panjang semua Negara, tak terkecuali Indonesia. Pendidikan menjadi standar dan tolok ukur seberapa jauh sebuah Negara mampu bersaing di dunia internasional. Semakin baik mutu pendidikan yang dimiliki suatu Negara maka Negara tersebut semakin siap bersaing didunia global, dan begitu juga sebaliknya. Dengan adanya persaingan dan bertambahnya tantangan untuk sesuatu yang pantas disaingi maka diperlukan apa yang dinamakan suatu alat pengukur yang pada saat ini dinamakan dengan standart nasional. Baik dari standar isi, proses, kompetensi, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana, dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikannya. Pada masa sekarang ini pendidikan sangat diperlukan oleh siapa saja, oleh karena itu hendaknya pendidikan diutamakan dari pada yang lainnya. Mengenai standar nasional pendidikan itu merupakan suatu ketetapan dari pemerintah pusat yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap lembaga sekolah sesuai dengan prosedurnya masing-masing. Standar nasional pendidikan juga dapat berubah sesuai dengan UU pendidikan yang berlaku, namun tidak semua standar nasional dapat berubah. Dari perubahan yang ada tersebut dapat dikatakan bahwa standar nasional pendidikan tidak selamanya menjadi standar pendidikan yang menjamin suatu prestasi yang baik pula. Melalui proses pendidikan, suatu bangsa berusaha untuk mencapai kemajuan-kemajuan dalam berbagai bidang kehidupannya, baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik, ilmu pengetahuan, teknologi, dan dalam bidang-bidang kehidupan budaya lainnya.
B. PEMBAHASAN
PERATURAN PEMERINTAH RI NOMOR 19 TAHUN 2005 TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN
1. Pengertian Standar Nasional Pendidikan Kata pendidikan berasal dari kata didik yang mendapat awalan “pen” dan akhiran “an” yang berarti perbuatan, hal, cara, yang berkenaan dengan mendidik, pengetahuan tentang mendidik dan berarti pula pemeliharaan, latihan-latihan, yang meliputi lahir dan batin. Sedang dalam pengertian yang lazim digunakan pengertian pendidikan adalah usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia baik aspek rohaniyah maupun jasmaniah serta berlangsung setahap demi setahap. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistim pendidikan diseluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Merupakan dasar perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.
2. Ketentuan Umum Standar Nasional Pendidikan Pasal I, Dalam peraturan pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan diseluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
3. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
4. Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.
5. Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel keja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
6. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
7. Kerangka dasar kurikulum adalah rambu-rambu yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah ini untuk dijadikan pedoman dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya pada setiap satuan pendidikan.
8. Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.
9. Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.
10. Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dan/ atau satuan pendidikan berdasarkan criteria yang telah ditetapkan.
11. Badan Standar Nasional Pendidikan(BSNP) adalah badan mandiri dan independent yang bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi standar nasional pendidikan.
12. Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) adalah unit pelaksana teknis Departemen yang berkedudukan di provinsi dan bertugas untuk membantu Pemerintah Daerah dalam bentuk supervise, bimbingan, arahan, saran, dan bantuan teknis kepada satuan pendidikan dasar dan menegah serta pendidikan nonformal, dalam berbagai upaya penjaminan mutu satuan pendidikan untuk mencapai standar nasional pendidikan.
13. Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN – S/M) adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/ atau satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah jalur formal dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
14. Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN-PNF) adalah badan evaluasi mendiri yang menetapkan kelayakan program dan/ atau satuan pendidikan jalur pendidikan nonformal dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
15. Badan Akreditasi Perguruan Tinggi (BAN-PT) adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/ atau satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.

Pasal 2, Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi:
a. standar isi;
b. standar proses;
c. standar kompetensi kelulusan;
d. standar pendidik dan tenaga kependidikan;
e. standar sarana dan prasarana;
f. standar pengelolaan;
g. standar pembiayaan;dan
h. standar penilaian pendidikan.
C. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa adanya sistem Standar Nasional Pendidikan maka akan tercipta pendidikan yang baik dan diharapkan setiap satuan pendidikan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dan dari uraian tadi dapat diketahui bahwa pentingnya Standar nasional untuk mengetahui kualitas suatu lembaga pendidikan, serta mengevaluasi kekurangan-kekurangan yang mungkin perlu diadakan perbaikan supaya menjadi lebih baik lagi. Misalnya pada sekolah unggulan tersebut memiliki satndar nilai yang cukup tinggi dibandingkan dengan sekolah yang bukan unggulan. Standar nasional pendidikan juga dapat menjadi tolak ukur keberhasilan suatu lembaga sekolah dalam menciptakan generasi penerus pedidikan yang memiliki kualitas baik serta mampu mengaplikasikan dalam kehidupannya baik disekolah maupun diluar sekolah.





















DAFTAR PUSTAKA

Batubara,Muhyi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta :ciputat press), 2004
Darma,Agus, Manajemen Berbasis Sekolah, http//school deveplement.net, diakses pada tanggal 15 maret 2010
Daradjat, Zakiah. 2004. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Sinar Grafika. Cetakan ke III.
Daradjat, Zakiah, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Edisi III.
Depdiknas. Peraturan Pemerintah, Nomor 19, Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan, 2005
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, Undang-Undang dan peraturan pemerintah RI tentang pendidikan, Jakarta 2006
Fachry, Mengenal Kurikulum Berbasis Kompetensi, dalam http://one.indoskripsi.com, diakses 15 Maret 2010
Hasbulluah. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta:2006
Hamalik, Oemar, Model-model Pengembangan Kurikulum, Bandung: Y.P Pemindo, 2000
Hamalik, Oemar, Evaluasi Kurikulum , Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1989
Hamalik, Oemar, Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet. III 2008.
Hamalik, Oemar, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009.
Hasbullah. 2001. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo.
Hasbullah, Dasar-dasar ilmu pendidikan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009
Hasan, M. Ali dan Mukti Ali. 2003. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
http://www.anneahira.com/artikel-pendidikan/pengertian-pendidikan.htm
http://www.anneahira.com/artikel-pendidikan/tujuan-pendidikan.htm http://geografi.upi.edu/?mod=article/view/12
http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/. Di download pada tanggal 10 Maret 2010 pada pukul 21.00 WITA.
http://tarbiyah.uin-suka.ac.id.
Irawan, A., dkk. 2004. Mendagangkan Sekolah. Studi Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah di DKI Jakarta. Indonesia Corruption Watch, Jakarta.
Jalal, F. Dan Supriadi, D. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Bappenas – Depdiknas – Adicita Karya Nusantara.
Jerome S. Arcaro, Pendidikan berbasis mutu, Jakarta : puataka pelajar, januari 2005
kamus bahasa Indonesia: Surabaya,APOLLO,1994.
Kusumah, Wijaya, Membedah Kurikulum Berbasis Kompetensi, dalam http://wijayalabs.multiply.com, diakses 17 Maret 2010
Muhammad Nurdin, Kiat menjadi guru professional, Jogjakarta : Ar-Ruzz media, maret 2008
Mukhlishah. 2002. Mendesak, Pendidikan Berbasis Komunitas. Pikiran Rakyat Cyber Media.
Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, (Bandung: Remaja Rosdakarya), 2007
Mulyasa, E., Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008.
Mulyasa, E, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet.V, 2008
Mycoursedesign, Konsep KBK, dalam http://mycoursedesign.files.wordpress.com, diakses 15 Maret 2010
Nasution, irwan dan Syafarudin, Manajemen Pembelajaran, ( Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hal. 70
Nizar Syamsul,Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers,2002
Noe, John R., 2005. Menjadi Peraih Puncak. Pustaka Tangga. Cetakan I.
Pemerintah RI Tahun 2005, Guru dan Dosen,PT.Fokusmedia, Jakarta :2005
Putra Daulay, Haidar, Pendidikann Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Kencana, 2004
Rahman , Abdul Sholeh, Manajemen Berbasis Sekolah, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2006
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia,1992
Sagala, S. 2004. Manajemen Berbasis sekolah dan Masyarakat. Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. PT Rakasta Samasta, Jakarta.
Sanjaya, Budi, Http://www.slideshare.net/Nasuprawoto/KTSP -SNP-Presentation diakses pada Tgl.16 maret 2010
Sanjaya, Wina, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jakarta: Kencana, 2006.
Shaleh, Abdul Rachman, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.
Shaleh, Abdul Rachman. 2000. Pendidikan Agama dan Keagamaan. Jakarta: PT. Gemawindu Pancaperkasa.
Shofan Moh., Pendidikan Berparadigma Profetik, Yogyakarta: Ircisod,2002
Sidi, I. D. 2001. Menuju Masyarakat Belajar. Menggagas paradigma Baru Pendidikan. Radar Jaya Offset, Jakarta.
Slamet PH. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum. Depdiknas.
Sudarwan Danim, Visi manajemen sekolah, Jakarta : Bumi aksara, juli 2006
Sudirman N, dkk, Ilmu Pendidikan, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1992
Sudjatmiko dan Nurlaili, L. 2004. KBK dalam Menunjang Kecakapan Hidup
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2008. Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Cetakan ke-10.
Susilo,Muhammad Joko, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.II, 2007
Swara Ditpertais, Kurikulum Berbasis Kompetensi, dalam http://www.ditpertais.net, diakses 15 Maret 2010.
Undang-undang SISDIKNAS 2003(UU RI No.20 TH.2003):Jakarta, Sinar Grafika,2003.
Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 Guru dan Dosen :Bandung,Fokusmedia,2006.
Undang-Undang Guru dan Dosen,PT. Sinar Grafik, Jakarta:2008
Unbayati, Nur Ilmu Pendidikan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1996
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
, Implemetasi Kurikulum 2004 Panduan Pembelajaran KBK, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.
, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007.
______. Undang-undan Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.

1 komentar:

  1. Kalau UU atau peraturan beserta penjelasannya sudah sangat bagus dibuat tetapi bagaimana dengan pelaksanaannya? soalnya sistem pendidikan kita masih amburadul sampai sekarang

    BalasHapus